Prinsip dalam pasangan itu mudah. Kau mengerti aku dan aku mengerti dirimu. Harusnya, sesimple itu.
Misalnya seperti pagi ini ketika aku memasakkan sarapan untuk tunanganku.
Aku sendiri juga ragu akan memakan sarapan yang dihadapanku ini, tapi begitu dia memasuki ruang makan. Dia mengecup keningku dan mengucapkan selamat pagi lalu duduk di depanku. Masih dengan piamanya. Well, aku bisa menyebut kaos putih dan celana boxer itu dengan piayama, kan?
Aku membiarkan dia mencoba sarapan buatanku. Mata kecilnya terbelalak. Ah, aku tahu ekspresi itu. Pasti tidak enak. Sudah kuduga. Harusnya ketika memasak aku bisa memperkirakan garam dan gula sewajarnya.
Tapi, aku kagum padanya. Dia memakan habis tanpa berbicara sepatah kata pun, lalu meminum kopinya. Ah, ekspresi itu. Seperti aku terlalu banyak memasukkan gula di kopinya.
Aku menggeser piringku, bahkan aku sendiri tak berani mencoba bubur ini. Aku melihatnya, dia tersenyum dan menegak kopi sekali lagi. Dan, yah, diiringi ekspresi seperti tadi. "Kenapa kau tidak berkata apa pun?"
Dia mengerutkan keningnya.
Aku menghela nafas dan menekuk tubuhku mendekat ke meja makan, "Maksudku, kau tidak pernah berkomentar mengenai masakanku. Ini sudah kesekian kalinya kau makan sarapan buatanku. Kenapa kau tidak mengeluh?"
Dia tertawa kecil dan melakukan hal yang sama denganku. Menekuk tubuhnya ke meja makan dengan dua tangan sebagai sandaran dagunya. "Mengeluh? Hm...Kau sengaja memasak seperti itu?"
Aku menggeleng dengan cepat, "Tidak. Hanya saja...jika kau adalah adikmu, jika kau adalah ibumu, jika kau adalah saudaraku, atau mamaku, kau pasti akan mengeluh atau minimal berkomentar mengenai masakanku yang tidak pernah terasa sempurna."
"Jadi, kau ingin aku berkomentar?"
Dengan ragu-ragu aku mengangguk. Dia merentangkan tangan kanannya dan menyentuh dahiku. Mengelus kepalaku lalu tertawa kecil. Aku tahu, arti tawa itu. Dia tidak benar-benar akan berkomentar. "Tapi kenapa?" tanyaku.
"Kenapa? Hm...mungkin karena aku ingin menikmati tiap masakan yang kau buat. Yang perlahan-lahan ada kemajuan, meski itu lambat sekali." Kemudian dia tersenyum, melihat ekspresiku. "Baiklah. Jawaban sebenarnya, karena aku memang tidak ingin berkomentar mengenai apa pun yang kau buat. Aku tidak akan berkomentar mengenai penampilan baru bangun tidurmu, kesalahan-kesalahan kecilmu. Aku hanya tidak ingin mengomentari itu karena aku menyukainya."
Aku terdiam, "Kau, bercanda?"
Dia menggelengkan kepala, "Tidak. Aku serius. Aku hanya tidak ingin mengeluhkan atau berkomentar mengenai hal-hal seperti itu. Karena aku ingin terus seperti ini."
"Aku ingin sepertimu. Kau sendiri juga tidak pernah mengeluhkan mengenai pekerjaanku, yang terus menyita waktu. Kau juga tidak pernah berhenti berusaha untuk membuat kopi, padahal kau membenci kopi. Kau tidak pernah mengeluh dan mengomentariku saat aku bahkan bekerja di sampingmu. Jadi, kenapa aku harus mengeluh dan berkomentar?" dia tersenyum. Ah, jawaban itu.
Dia berdiri, mengambil piring dan gelasnya yang sudah kosong. Aku menghela nafas kesal, "Jawabanmu membuatku kesal."
Dia tertawa sambil menyuci piring dan gelasnya, "Kenapa?"
"Ya, entahlah. Andai saja, kau tidak perlu pergi ke kantor, aku pasti akan membuatmu bertahan lebih lama di sini." Aku mengambil sendok dan mencoba bubur buatanku sendiri. ASTAGA! "Hei, ini bahkan tidak bisa dimakan, bagaimana mungkin..." aku mengangkat kepalaku, menatapnya tidak percaya. Dia tertawa kecil, melap tangannya ke handuk kecil lalu berjalan mendekat padaku, "You know me, right?" dia mengelus kepalaku lalu bersiap-siap menuju kantor.
Ya, semuanya akan sesimple itu, ketika kau menemukan orang yang memang diciptakan untuk dirimu dan dirimu untuk diri orang tersebut.
Note:
Have a romantic moments with the person you love. - from me and him
Misalnya seperti pagi ini ketika aku memasakkan sarapan untuk tunanganku.
Aku sendiri juga ragu akan memakan sarapan yang dihadapanku ini, tapi begitu dia memasuki ruang makan. Dia mengecup keningku dan mengucapkan selamat pagi lalu duduk di depanku. Masih dengan piamanya. Well, aku bisa menyebut kaos putih dan celana boxer itu dengan piayama, kan?
Aku membiarkan dia mencoba sarapan buatanku. Mata kecilnya terbelalak. Ah, aku tahu ekspresi itu. Pasti tidak enak. Sudah kuduga. Harusnya ketika memasak aku bisa memperkirakan garam dan gula sewajarnya.
Tapi, aku kagum padanya. Dia memakan habis tanpa berbicara sepatah kata pun, lalu meminum kopinya. Ah, ekspresi itu. Seperti aku terlalu banyak memasukkan gula di kopinya.
Aku menggeser piringku, bahkan aku sendiri tak berani mencoba bubur ini. Aku melihatnya, dia tersenyum dan menegak kopi sekali lagi. Dan, yah, diiringi ekspresi seperti tadi. "Kenapa kau tidak berkata apa pun?"
Dia mengerutkan keningnya.
Aku menghela nafas dan menekuk tubuhku mendekat ke meja makan, "Maksudku, kau tidak pernah berkomentar mengenai masakanku. Ini sudah kesekian kalinya kau makan sarapan buatanku. Kenapa kau tidak mengeluh?"
Dia tertawa kecil dan melakukan hal yang sama denganku. Menekuk tubuhnya ke meja makan dengan dua tangan sebagai sandaran dagunya. "Mengeluh? Hm...Kau sengaja memasak seperti itu?"
Aku menggeleng dengan cepat, "Tidak. Hanya saja...jika kau adalah adikmu, jika kau adalah ibumu, jika kau adalah saudaraku, atau mamaku, kau pasti akan mengeluh atau minimal berkomentar mengenai masakanku yang tidak pernah terasa sempurna."
"Jadi, kau ingin aku berkomentar?"
Dengan ragu-ragu aku mengangguk. Dia merentangkan tangan kanannya dan menyentuh dahiku. Mengelus kepalaku lalu tertawa kecil. Aku tahu, arti tawa itu. Dia tidak benar-benar akan berkomentar. "Tapi kenapa?" tanyaku.
"Kenapa? Hm...mungkin karena aku ingin menikmati tiap masakan yang kau buat. Yang perlahan-lahan ada kemajuan, meski itu lambat sekali." Kemudian dia tersenyum, melihat ekspresiku. "Baiklah. Jawaban sebenarnya, karena aku memang tidak ingin berkomentar mengenai apa pun yang kau buat. Aku tidak akan berkomentar mengenai penampilan baru bangun tidurmu, kesalahan-kesalahan kecilmu. Aku hanya tidak ingin mengomentari itu karena aku menyukainya."
Aku terdiam, "Kau, bercanda?"
Dia menggelengkan kepala, "Tidak. Aku serius. Aku hanya tidak ingin mengeluhkan atau berkomentar mengenai hal-hal seperti itu. Karena aku ingin terus seperti ini."
"Aku ingin sepertimu. Kau sendiri juga tidak pernah mengeluhkan mengenai pekerjaanku, yang terus menyita waktu. Kau juga tidak pernah berhenti berusaha untuk membuat kopi, padahal kau membenci kopi. Kau tidak pernah mengeluh dan mengomentariku saat aku bahkan bekerja di sampingmu. Jadi, kenapa aku harus mengeluh dan berkomentar?" dia tersenyum. Ah, jawaban itu.
Dia berdiri, mengambil piring dan gelasnya yang sudah kosong. Aku menghela nafas kesal, "Jawabanmu membuatku kesal."
Dia tertawa sambil menyuci piring dan gelasnya, "Kenapa?"
"Ya, entahlah. Andai saja, kau tidak perlu pergi ke kantor, aku pasti akan membuatmu bertahan lebih lama di sini." Aku mengambil sendok dan mencoba bubur buatanku sendiri. ASTAGA! "Hei, ini bahkan tidak bisa dimakan, bagaimana mungkin..." aku mengangkat kepalaku, menatapnya tidak percaya. Dia tertawa kecil, melap tangannya ke handuk kecil lalu berjalan mendekat padaku, "You know me, right?" dia mengelus kepalaku lalu bersiap-siap menuju kantor.
Ya, semuanya akan sesimple itu, ketika kau menemukan orang yang memang diciptakan untuk dirimu dan dirimu untuk diri orang tersebut.
Note:
Have a romantic moments with the person you love. - from me and him
No comments:
Post a Comment