Laki-laki yang dulunya tinggi tegap, berkulit putih bersih, bola mata kecoklatan, dan berpendidikan. Aku lihat piagamnya yang tergantung rapi di balik pigura, jelas dia adalah seorang yang menekuni bangku kuliah jurusan kimia di Padang dan benar-benar berprestasi.
Pada masa itu, wanita mana yang tidak jatuh kedalam pelukannya? Sayangnya, ketika dia menjatuhkan hatinya pada seorang wanita, wanita itu tidak ingin menangkapnya. Bisa kubayangkan hancur hatinya kala itu. Butuh waktu yang lama baginya untuk siap menjatuhkan hatinya lagi.
Begitu hatinya menjatuhkan pilihan pada seorang gadis yang berbeda suku dan agama dengannya, banyak tentangan yang didapatnya, meski mereka saling mencintai sekali pun. Bahkan dari ibunya sendiri. Jelas, dengan berat namun patuh, dia memilih ibunya. Mungkin itu akhirnya mengapa dia memilih untuk menjalani hidupnya tanpa memiliki siapa pun menjadi pasangannya.
Perlahan, waktu mulai merengut tubuh tinggi tegapnya, kulit putih bersihnya dan sinar dari bola mata kecoklatan itu. Yang mulai kukenal senyuman ramah, suara yang memanggil akrab para keponakan yang bertumbuh di sekitarnya, bahkan sifat isengnya. Bagaimana dia mengajarkanku tentang lingkungan di sekitarku, usiaku kala itu empat atau lima tahun, aku ingat itu. Bagaimana dia memarahi adik-adiknya, yang adalah orang tua kami, ketika mereka mulai bersikap berlebihan mengatasi kami, para ponakannya. Bagaimana dia bersikeras tidak ingin dipanggil Paman, melainkan Apak, yang artinya Ayah dalam bahasa daerahku. Bahkan dia tidak akan menghiraukan kami ponakannya jika kami iseng memanggilnya dengan sebutan Paman.
Aku masih ingat bagaimana masa ceria itu kita lewati, dan memang sangat cepat. Secepat dia merasa kesepian ketika ponakannya tidak lagi bertumbuh di sekitarnya. Masa remaja merebut kami dari sisinya. Kami tak lagi sering bermain ke sana, rumah nenek. Ya, dia tinggal bersama nenek. Seolah-olah nenek tidak ingin kehilangannya setelah kecelakaan yang pernah nyaris mengundang malaikat maut menjemput anak laki-laki pertamanya itu dari sisinya.
Apak menyibukkan dirinya dengan teman-temannya di kedai kopi. Sekedar bercerita masa lalu di sana, atau mengisi waktu kosongnya yang tidak lagi seramai ketika ponakannya berlari ke sana kemari. Makanya, saat aku pernah berkunjung ke rumah nenek, aku tidak bisa bertemu dengan Apak. Ketika aku pergi, mereka bilang Apak kembali.
Tak hanya sampai di situ. Setelah melewati masa remaja, ponakannya terus bertumbuh menjadi dewasa. Ada yang meninggalkan kampung halaman untuk merantau dan ada pula yang membangun rumah tangga membentuk sebuah keluarga. Waktu benar-benar merebut semuanya dari sisinya. Bahkan kesehatan nenek yang membuat nenek harus di rawat di rumah sakit atau di rumah anak bungsunya, agar dia benar-benar diperhatikan pola hidupnya. Apak pasti sangat merasa kesepian.
Rumah itu, terakhir kali aku mengunjunginya, sudah tidak hidup seperti dulu lagi. Rumah itu kini dingin, sangat dingin. Tidak ada lagi tawa ceria, tangisan manja, keisengan, tidak ada lagi yang terasa hidup di sana. Terlebih lagi, karena Apak tidak lagi ada. Ketika Tuhan memutuskan untuk memanggilnya kembali, menyusul kepergian nenek setahun yang lalu dan sepupuku awal tahun ini. Semoga di sana, Apak berkumpul bersama anggota keluarga lainnya, tidak lagi merasa kesepian.
Rest in peace, Apak. You'll forever stay in our memories. Never be forgotten.
23 November 1960 - 10 August 2013
Pada masa itu, wanita mana yang tidak jatuh kedalam pelukannya? Sayangnya, ketika dia menjatuhkan hatinya pada seorang wanita, wanita itu tidak ingin menangkapnya. Bisa kubayangkan hancur hatinya kala itu. Butuh waktu yang lama baginya untuk siap menjatuhkan hatinya lagi.
Begitu hatinya menjatuhkan pilihan pada seorang gadis yang berbeda suku dan agama dengannya, banyak tentangan yang didapatnya, meski mereka saling mencintai sekali pun. Bahkan dari ibunya sendiri. Jelas, dengan berat namun patuh, dia memilih ibunya. Mungkin itu akhirnya mengapa dia memilih untuk menjalani hidupnya tanpa memiliki siapa pun menjadi pasangannya.
Perlahan, waktu mulai merengut tubuh tinggi tegapnya, kulit putih bersihnya dan sinar dari bola mata kecoklatan itu. Yang mulai kukenal senyuman ramah, suara yang memanggil akrab para keponakan yang bertumbuh di sekitarnya, bahkan sifat isengnya. Bagaimana dia mengajarkanku tentang lingkungan di sekitarku, usiaku kala itu empat atau lima tahun, aku ingat itu. Bagaimana dia memarahi adik-adiknya, yang adalah orang tua kami, ketika mereka mulai bersikap berlebihan mengatasi kami, para ponakannya. Bagaimana dia bersikeras tidak ingin dipanggil Paman, melainkan Apak, yang artinya Ayah dalam bahasa daerahku. Bahkan dia tidak akan menghiraukan kami ponakannya jika kami iseng memanggilnya dengan sebutan Paman.
Aku masih ingat bagaimana masa ceria itu kita lewati, dan memang sangat cepat. Secepat dia merasa kesepian ketika ponakannya tidak lagi bertumbuh di sekitarnya. Masa remaja merebut kami dari sisinya. Kami tak lagi sering bermain ke sana, rumah nenek. Ya, dia tinggal bersama nenek. Seolah-olah nenek tidak ingin kehilangannya setelah kecelakaan yang pernah nyaris mengundang malaikat maut menjemput anak laki-laki pertamanya itu dari sisinya.
Apak menyibukkan dirinya dengan teman-temannya di kedai kopi. Sekedar bercerita masa lalu di sana, atau mengisi waktu kosongnya yang tidak lagi seramai ketika ponakannya berlari ke sana kemari. Makanya, saat aku pernah berkunjung ke rumah nenek, aku tidak bisa bertemu dengan Apak. Ketika aku pergi, mereka bilang Apak kembali.
Tak hanya sampai di situ. Setelah melewati masa remaja, ponakannya terus bertumbuh menjadi dewasa. Ada yang meninggalkan kampung halaman untuk merantau dan ada pula yang membangun rumah tangga membentuk sebuah keluarga. Waktu benar-benar merebut semuanya dari sisinya. Bahkan kesehatan nenek yang membuat nenek harus di rawat di rumah sakit atau di rumah anak bungsunya, agar dia benar-benar diperhatikan pola hidupnya. Apak pasti sangat merasa kesepian.
Rumah itu, terakhir kali aku mengunjunginya, sudah tidak hidup seperti dulu lagi. Rumah itu kini dingin, sangat dingin. Tidak ada lagi tawa ceria, tangisan manja, keisengan, tidak ada lagi yang terasa hidup di sana. Terlebih lagi, karena Apak tidak lagi ada. Ketika Tuhan memutuskan untuk memanggilnya kembali, menyusul kepergian nenek setahun yang lalu dan sepupuku awal tahun ini. Semoga di sana, Apak berkumpul bersama anggota keluarga lainnya, tidak lagi merasa kesepian.
Rest in peace, Apak. You'll forever stay in our memories. Never be forgotten.
23 November 1960 - 10 August 2013
No comments:
Post a Comment