Gadis ini lagi. Aku tersenyum, mendapati diriku terus menyadari keberadaannya. Mereka bilang dia adalah gadis pertukaran pelajar antar negara di sekolah ini. Wajahnya unik, jelas saja aku membiarkan mataku tertarik padanya. Kami satu kelas matematika, kurasa menyapanya bukanlah hal yang buruk. Dia terkejut saat aku menyapanya. Ya, itu terlihat jelas dari sepasang bola matanya yang sedikit membesar di balik kaca matanya. Gadis ini, benar-benar menarikku.
Setelah itu, aku membiasakan diri untuk menyapanya atau sekedar tertawa kecil untuknya. Dia punya senyum lebar yang hangat, membuatku ingin senyum itu terus ada di sana, untukku. Aku ingat, bagaimana kesalnya dia saat lomba matematika waktu itu. Dia terus mendumal keki, sementara aku tersenyum geli menikmati komentarnya sambil menggambar kertas soalku. Gadis ini semakin menarik.
Aku tidak tahu apa yang merasukiku. Mengajaknya untuk bertemu di hallway setiap hari selasa, karena aku tahu diwaktu yang sama dia tidak ada pelajaran. Ya, sekedar untuk bertemu dengannya. Sekedar untuk memperlihatkan padanya senyuman manis yang aku bisa. Aku ingin dia melihat jauh kedalam sepasang bola mata biruku, aku benar-benar tertarik padanya.
Hari itu, sebenarnya hari terburukku di sekolah. Maksudku, moodku. Melihatnya berada di parkiran, membuatku yang baru saja memasuki mobil keluar dan dia sedikit kaget mendapatiku. Dia tersenyum sebentar. Aku tidak bisa menahan diriku sendiri untuk tidak memeluknya! Dia hanya diam di pelukanku. Meski pelukan itu hanya sebentar saja, tapi aku bisa merasakan panas yang dikirimkan dentuman cepat dari jantungku ke seluruh tubuh. Apa wajahku memerah? Apa aku...
Aku melihat ke arahnya, dia menundukkan kepala. Tapi dari balik rambut hitamnya, aku tahu sesuatu. Wajahnya memerah. Bolehkah aku sedikit saja bahagia?
Rasanya menjadi dekat dengannya waktu terasa begitu cepat berlalu. Hari ini, aku menerima undangan darinya. Acara perpisahan. Damn! Haruskah perpisahan ini ada? Kenapa aku harus bertemu dan dekat jika akhirnya aku dengannya akan berpisah?!
Aku menendangi dinding kamarku. Tanpa memperdulikan pertanyaan dari ibuku di balik pintu kamarku. Aku kesal. Aku sedih. Aku tidak ingin berpisah dengannya. Apa aku salah?! Apa ini semua salah?!!
Kupandangi pantulanku di cermin. Aku benar-benar terlihat menyedihkan. Rambut pirangku terlihat berantakan. Mataku seperti tidak ada sinar kehidupan. Siapa orang ini? Kenapa aku seperti ini? Aku menertawai diriku dalam hati. Aku tidak mengenali orang di cermin ini.
Aku memakai kaos hitam dan celana jeans biru. Ah, tidak. Ini terlalu biasa. Aku mengambil jaket kulit bewarna coklat. Memakainya dan...ini terlihat seperti i-am-hollywood-star-wanna-be. Aku menghela nafas. Melepaskan jaket dan kaos. Sebuah kemeja kotak-kotak yang tergantung sedikit terpisah dari pakaianku yang lainnya di lemari, menarik perhatianku.
Ini dia. Aku berada di rumahnya. Sudah ada beberapa teman rupanya, yang kukenal. Dia menyambutku dengan senyuman. Boleh aku besar kepala, sedikit? Dia terlihat terpana denganku. Kurasa aku akan memeluknya jika saja hanya kami berdua di sana. Mungkin juga, aku tidak akan melepaskannya.
Waktu terus berjalan. Aku tidak bisa membiarkan diriku lama dalam perpisahan ini. Aku sedikit bersyukur ibu memintaku pulang lebih cepat karena aku harus menemaninya untuk pertemuan keluarga. Selebihnya, aku merasa menyesal, karena akulah yang harus berpisah duluan darinya.
Aku menggenggam jemari mungilnya. Matanya yang sedari tadi mulai berkaca-kaca akhirnya terpecah juga. Dia menangis. Dia menatapku seolah seperti memintaku untuk tidak meninggalkannya. 'Hey, sadarkah kau siapa yang akan meninggalkan siapa?' setidaknya aku membalas tatapannya seperti itu. Tapi...aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak menariknya ke dalam pelukanku. Memeluknya dengan sangat erat. Menenggelamkan kepalanya di dadaku. Membiarkan dia mencium wangi tubuhku. Membiarkan dia menangis tanpa melihatku. Aku hanya tidak ingin melepaskannya. Tidak dan tidak.
'Aku, yakin. Kau pun, begitu.'
Setelah itu, aku membiasakan diri untuk menyapanya atau sekedar tertawa kecil untuknya. Dia punya senyum lebar yang hangat, membuatku ingin senyum itu terus ada di sana, untukku. Aku ingat, bagaimana kesalnya dia saat lomba matematika waktu itu. Dia terus mendumal keki, sementara aku tersenyum geli menikmati komentarnya sambil menggambar kertas soalku. Gadis ini semakin menarik.
Aku tidak tahu apa yang merasukiku. Mengajaknya untuk bertemu di hallway setiap hari selasa, karena aku tahu diwaktu yang sama dia tidak ada pelajaran. Ya, sekedar untuk bertemu dengannya. Sekedar untuk memperlihatkan padanya senyuman manis yang aku bisa. Aku ingin dia melihat jauh kedalam sepasang bola mata biruku, aku benar-benar tertarik padanya.
Hari itu, sebenarnya hari terburukku di sekolah. Maksudku, moodku. Melihatnya berada di parkiran, membuatku yang baru saja memasuki mobil keluar dan dia sedikit kaget mendapatiku. Dia tersenyum sebentar. Aku tidak bisa menahan diriku sendiri untuk tidak memeluknya! Dia hanya diam di pelukanku. Meski pelukan itu hanya sebentar saja, tapi aku bisa merasakan panas yang dikirimkan dentuman cepat dari jantungku ke seluruh tubuh. Apa wajahku memerah? Apa aku...
Aku melihat ke arahnya, dia menundukkan kepala. Tapi dari balik rambut hitamnya, aku tahu sesuatu. Wajahnya memerah. Bolehkah aku sedikit saja bahagia?
Rasanya menjadi dekat dengannya waktu terasa begitu cepat berlalu. Hari ini, aku menerima undangan darinya. Acara perpisahan. Damn! Haruskah perpisahan ini ada? Kenapa aku harus bertemu dan dekat jika akhirnya aku dengannya akan berpisah?!
Aku menendangi dinding kamarku. Tanpa memperdulikan pertanyaan dari ibuku di balik pintu kamarku. Aku kesal. Aku sedih. Aku tidak ingin berpisah dengannya. Apa aku salah?! Apa ini semua salah?!!
Kupandangi pantulanku di cermin. Aku benar-benar terlihat menyedihkan. Rambut pirangku terlihat berantakan. Mataku seperti tidak ada sinar kehidupan. Siapa orang ini? Kenapa aku seperti ini? Aku menertawai diriku dalam hati. Aku tidak mengenali orang di cermin ini.
Aku memakai kaos hitam dan celana jeans biru. Ah, tidak. Ini terlalu biasa. Aku mengambil jaket kulit bewarna coklat. Memakainya dan...ini terlihat seperti i-am-hollywood-star-wanna-be. Aku menghela nafas. Melepaskan jaket dan kaos. Sebuah kemeja kotak-kotak yang tergantung sedikit terpisah dari pakaianku yang lainnya di lemari, menarik perhatianku.
Ini dia. Aku berada di rumahnya. Sudah ada beberapa teman rupanya, yang kukenal. Dia menyambutku dengan senyuman. Boleh aku besar kepala, sedikit? Dia terlihat terpana denganku. Kurasa aku akan memeluknya jika saja hanya kami berdua di sana. Mungkin juga, aku tidak akan melepaskannya.
Waktu terus berjalan. Aku tidak bisa membiarkan diriku lama dalam perpisahan ini. Aku sedikit bersyukur ibu memintaku pulang lebih cepat karena aku harus menemaninya untuk pertemuan keluarga. Selebihnya, aku merasa menyesal, karena akulah yang harus berpisah duluan darinya.
Aku menggenggam jemari mungilnya. Matanya yang sedari tadi mulai berkaca-kaca akhirnya terpecah juga. Dia menangis. Dia menatapku seolah seperti memintaku untuk tidak meninggalkannya. 'Hey, sadarkah kau siapa yang akan meninggalkan siapa?' setidaknya aku membalas tatapannya seperti itu. Tapi...aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak menariknya ke dalam pelukanku. Memeluknya dengan sangat erat. Menenggelamkan kepalanya di dadaku. Membiarkan dia mencium wangi tubuhku. Membiarkan dia menangis tanpa melihatku. Aku hanya tidak ingin melepaskannya. Tidak dan tidak.
'Aku, yakin. Kau pun, begitu.'
haha, i cried after i read this.. i wish that's how he really feels about me. i miss him so much kak, i hold myself not to talk with him so goodbye won't be that hurts ..
ReplyDeleteeven though i said he's a jerk, i just couldn't write anything bad about him to make him be that jerk.
Deletei'll not say sorry about your tears, well probably it's your fault or him, may be?
everything's 'll be okay, remember 'dunia berputar'