Friday, June 21, 2013

Dandelion

     
Dandelion



  Katanya, dandelion hanyalah tumbuhan liar. Tapi bagiku, mereka itu ibarat pesan dan angin sebagai pengantarnya. Mereka bukan sekedar 'hanyalah tumbuhan liar'.
  Apa kau percaya, sewaktu kecil aku sering mendapat dandelion. Membiarkannya terbang mendekat dan datang padaku. Entah itu di tanganku atau di bahuku.

  Lalu pesan apakah yang dibawanya bersama angin?

  Pesan apa pun. Pesan yang mungkin dibisikkan padanya oleh seseorang sebelum dia dihembuskan atau mungkin pesan yang terselip saat angin membawanya terbang melalui beberapa tempat.

  Lalu jika dia terhempas?

  Meski dia terhempas sekali pun, asalkan kau percaya, pesan itu pasti akan tersampaikan.
  Oh ya, apa kau perrnah mendengar hal ini sebelumnya? Dandelion, pembawa pesan.

  Aku belum pernah mendengarnya, tapi mungkin aku pernah merasakannya.

  Benarkah?
  Jika kau ingin menyampaikan pesanmu melalui dandelion, sebelum menghembuskannya bersama angin, kau bisikkan pesanmu atau kau bisa berkata padanya dari dalam hatimu. Katakan apa yang ingin kau titipkan bersamanya.
  Lalu, jika kau menyadari ada dandelion yang terbang ringan mengarah padamu, terlebih lagi ketika kau menangkapnya, coba kau rasakan pesan apa yang ada di sana, dengan hatimu.

  Kalau begitu, bolehkah aku mengirimkan pesan itu, sekarang?

  Boleh. Pesan apa yang ingin kau kirim melalui dandelion?

  Aku ingin mengirim pesan kepada matahari, apakah hujan masih sering menganggunya?
  Aku rindu matahariku.

    
my message


Monday, June 10, 2013

Wind

  Cinta itu seperti angin di musim panas. Sebentar, sepoi-sepoi, hilang lalu kemudian datang lagi dan begitu seterusnya. Selalu diharapkan, untuk mengusir rasa gerah dan keringat yang bercucuran. Diharapkan untuk terus ada di sana. Begitu saja, sudah cukup.

  Cinta itu seperti angin di musim hujan. Terus dan terus. Berhembus beriringan dengan dinginnya air hujan, menusuk masuk ke kulit bahkan ke tulang. Membuat tubuh menggigil, takluk dengannya. Berharap dia segera hilang dan begitu saja.


  Ya, bagiku cinta itu seperti angin. Mereka bisa datang dan pergi. Atau bahkan tinggal untuk waktu yang lama jika memang begitu keadaannya. Mau aku memintanya, mengharapkannya atau pun sebaliknya. Mereka juga bisa biasa saja atau semakin menjadi angin yang besar dan kuat, bisa menghancurkan siapa saja yang mendekat pada mereka.

  Jika cinta itu angin, maka kau tahu kan, perasaanku angin yang seperti apa kepadamu?

  Jika perasaanku ini angin, lalu apa perasaanmu?




Sunday, June 9, 2013

I Don't Wanna A Goodbye

 Gadis ini lagi. Aku tersenyum, mendapati diriku terus menyadari keberadaannya. Mereka bilang dia adalah gadis pertukaran pelajar antar negara di sekolah ini. Wajahnya unik, jelas saja aku membiarkan mataku tertarik padanya. Kami satu kelas matematika, kurasa menyapanya bukanlah hal yang buruk. Dia terkejut saat aku menyapanya. Ya, itu terlihat jelas dari sepasang bola matanya yang sedikit membesar di balik kaca matanya. Gadis ini, benar-benar menarikku.
 Setelah itu, aku membiasakan diri untuk menyapanya atau sekedar tertawa kecil untuknya. Dia punya senyum lebar yang hangat, membuatku ingin senyum itu terus ada di sana, untukku. Aku ingat, bagaimana kesalnya dia saat lomba matematika waktu itu. Dia terus mendumal keki, sementara aku tersenyum geli menikmati komentarnya sambil menggambar kertas soalku. Gadis ini semakin menarik.

 Aku tidak tahu apa yang merasukiku. Mengajaknya untuk bertemu di hallway setiap hari selasa, karena aku tahu diwaktu yang sama dia tidak ada pelajaran. Ya, sekedar untuk bertemu dengannya. Sekedar untuk memperlihatkan padanya senyuman manis yang aku bisa. Aku ingin dia melihat jauh kedalam sepasang bola mata biruku, aku benar-benar tertarik padanya.
 Hari itu, sebenarnya hari terburukku di sekolah. Maksudku, moodku. Melihatnya berada di parkiran, membuatku yang baru saja memasuki mobil keluar dan dia sedikit kaget mendapatiku. Dia tersenyum sebentar. Aku tidak bisa menahan diriku sendiri untuk tidak memeluknya! Dia hanya diam di pelukanku. Meski pelukan itu hanya sebentar saja, tapi aku bisa merasakan panas yang dikirimkan dentuman cepat dari jantungku ke seluruh tubuh. Apa wajahku memerah? Apa aku...
 Aku melihat ke arahnya, dia menundukkan kepala. Tapi dari balik rambut hitamnya, aku tahu sesuatu. Wajahnya memerah. Bolehkah aku sedikit saja bahagia?


 Rasanya menjadi dekat dengannya waktu terasa begitu cepat berlalu. Hari ini, aku menerima undangan darinya. Acara perpisahan. Damn! Haruskah perpisahan ini ada? Kenapa aku harus bertemu dan dekat jika akhirnya aku dengannya akan berpisah?!
 Aku menendangi dinding kamarku. Tanpa memperdulikan pertanyaan dari ibuku di balik pintu kamarku. Aku kesal. Aku sedih. Aku tidak ingin berpisah dengannya. Apa aku salah?! Apa ini semua salah?!!

 Kupandangi pantulanku di cermin. Aku benar-benar terlihat menyedihkan. Rambut pirangku terlihat berantakan. Mataku seperti tidak ada sinar kehidupan. Siapa orang ini? Kenapa aku seperti ini? Aku menertawai diriku dalam hati. Aku tidak mengenali orang di cermin ini.

 Aku memakai kaos hitam dan celana jeans biru. Ah, tidak. Ini terlalu biasa. Aku mengambil jaket kulit bewarna coklat. Memakainya dan...ini terlihat seperti i-am-hollywood-star-wanna-be. Aku menghela nafas. Melepaskan jaket dan kaos. Sebuah kemeja kotak-kotak yang tergantung sedikit terpisah dari pakaianku yang lainnya di lemari, menarik perhatianku.

 Ini dia. Aku berada di rumahnya. Sudah ada beberapa teman rupanya, yang kukenal. Dia menyambutku dengan senyuman. Boleh aku besar kepala, sedikit? Dia terlihat terpana denganku. Kurasa aku akan memeluknya jika saja hanya kami berdua di sana. Mungkin juga, aku tidak akan melepaskannya.
 Waktu terus berjalan. Aku tidak bisa membiarkan diriku lama dalam perpisahan ini. Aku sedikit bersyukur ibu memintaku pulang lebih cepat karena aku harus menemaninya untuk pertemuan keluarga. Selebihnya, aku merasa menyesal, karena akulah yang harus berpisah duluan darinya.
 Aku menggenggam jemari mungilnya. Matanya yang sedari tadi mulai berkaca-kaca akhirnya terpecah juga. Dia menangis. Dia menatapku seolah seperti memintaku untuk tidak meninggalkannya. 'Hey, sadarkah kau siapa yang akan meninggalkan siapa?' setidaknya aku membalas tatapannya seperti itu. Tapi...aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak menariknya ke dalam pelukanku. Memeluknya dengan sangat erat. Menenggelamkan kepalanya di dadaku. Membiarkan dia mencium wangi tubuhku. Membiarkan dia menangis tanpa melihatku. Aku hanya tidak ingin melepaskannya. Tidak dan tidak.


  'Aku, yakin. Kau pun, begitu.'








Saturday, June 8, 2013

A Letter To Heaven

  Hey, grandma. How are you? Still singing the song you used to sing beside me? Teehee...by the way, i wrote this because I've found our old pics and the playlist on my mp3 just like the backsound of the pics. It's totally take me to the place when it taken.

  Nek, masih ingat kejadian di Cibubur? Ketika kau menyanyikan sebuah lagu, katamu lagu itu lagu yang harus dinyanyikan saat perjalanan menuju sawah ketika penjajahan Jepang dan aku merekamnya dengan ponselku. Aku masih ingat tawa kesal dan malu-malu darimu saat kuperlihatkan hasil rekaman itu pada keluarga besar. Kau mengomeliku, tapi aku tertawa. Ya, itu hanya omelan karena kejahilanku, seperti biasanya.
  Nek, apa kau ingat, saat kita berdua berada di rumahmu. Semua terasa kosong. Hanya kita berdua di ruang tamu dan kau menatap langit malam yang hitam dengan tatapan kosong, pula. Kau menyanyikan lagu yang membuatku sedikit sedih. "Saya mau ikut Yesus." Kau tau, aku belum siap kehilanganmu, sejak saat kau menyanyikan lagu sedih itu.
  Nek, apa kau juga masih ingat, saat aku bediri di sebelahmu. Aku terlihat bahagia dengan pertumbuhanku. Ya, seiring waktu berjalan, tinggiku semakin melewatimu. Aku ingat sekali, bagaimana aku meledek dirimu yang hanya beberapa senti di bawahku. Nek, maafkan aku, aku memang terlalu jahil dan nakal padamu.

  Waktu terus berlalu, kesehatanmu menurun. Aku benci harus menghadapi masa-masa itu. Masa dimana aku harus menggenggam tanganmu yang dingin. Menatap kau yang tak berdaya di atas tempat tidur. Kemana sosokmu yang biasa kutemani tidur? Kemana sosokmu yang tertawa saat aku membual dan melakukan kejahilan demi kejahilan? Kenapa sosok lemah itu yang harus kusaksikan?
  Maafkan aku nek, saat kau keluar masuk ruang unit gawat darurat, aku tidak memperlihatkan batang hidungku. Itu karena aku takut. Aku takut, aku terlalu pecundang untuk ruangan kecil namun mengerikan itu. Aku benci ruangan itu.

  Kau masih suka buah kelengkeng kan, nek? Aku pun masih membencinya. Kau tahu, itu semua karena dirimu. Coba saja waktu itu kau tidak melahap buah kecil yang nyaris menyerupai buah duku itu, di depanku dan memaksaku mencobanya, mungkin aku biasa saja dengan buah itu. Tapi kini, mencium bau buah itu saja aku tidak kuat. Buah itu, selalu mengingatkanku akan dirimu, nek.
  Aku juga ingat saat awal aku berada di kota ini dan kudengar kabar jika kau masuk rumah sakit lagi. Jantung koroner. Penyakit mematikan itu bersarang di tubuhmu entah sejak kapan. Itulah yang menjadi alasanmu terus menerus ke rumah sakit karena kondisimu yang kadang baik dan kadang buruk bahkan sangat buruk.
  Pagi itu, aku membuka website, pengumuman kelulusan ujian tertulis masuk universitas, aku lulus. Aku segera menelpon memberi kabar. Ternyata, setelah mendengar kabar itu, kau membaik. Kau bilang, itu kabar baik yang membuatmu ikut merasa baik dan sehat serta cukup kuat untuk keluar dari rumah sakit. Bahkan dokter yang memeriksamu, mengakui itu. Kau tahu nek, seberapa bahagianya aku mendengar itu?


  Aku juga masih ingat permintaan konyolmu, ketika aku masih duduk di bangku sma. Kau memintaku untuk menikah. Waktu itu aku hanya tertawa dan berkata kalau kau hanya mengada-ada. Tapi sebenarnya aku sedih, karena kau selalu mengingatkan usiamu tak lagi panjang. Tidak kah kau penasaran siapa yang akan menikahiku nanti, nek?
  Aku juga masih ingat dengan jelas, suaramu dari seberang. Itu terakhir kalinya aku mendengar kau dengan suara khasmu memanggilku dengan sebutan 'sayang'. Siang menjelang sore itu, aku sedang berada di kamar teman kosku. Kau menelponmu. Tumben sekali. Kau bilang, kau merindukanku. Aku hanya tersenyum dan berkata hal yang sama. Kau menasehatiku, seolah-olah memang itu waktu terakhirmu. Aku benci itu. Aku dengan santainya berkata 'ya nek, ya nek' dan 'ya nek' tidak terlalu menghiraukan ucapanmu. Aku bodoh ya, nek.

  Tepat hanya seminggu setelah itu, aku mendapat kabar kau masuk rumah sakit lagi. Kali ini, kondisimu benar-benar memburuk. Malam itu. Aku mendengar kabar, kau telah pergi untuk selamanya. Selamanya dan tidak akan pernah kembali lagi meski aku berteriak memanggilmu dalam tangisku, berteriak memanggilmu dengan suaraku yang terisak-isak. Kau tidak akan pernah kembali lagi.

  Nek, kau adalah sosok yang aku kagumi, sayangi dan tidak akan pernah bisa lepas dari kehidupanku. Terima kasih untuk pelukan hangat yang kau berikan. Terima kasih untuk senyuman, tawa, ocehan, canda, dan semua emosi yang pernah terluapkan. Terima kasih untuk segala hadiah yang kau berikan. Terima kasih atas waktu hidupmu yang telah ada untuk mengisi hari demi hari sejak aku belum mengenal dunia dengan jelas hingga menemani aku bertumbuh dan beranjak dewasa.
 
  "When will i see you again, grandma? You don't know how much i miss you. Grandma, i love you."




To : My lovely grandma
From :  Your dorky, weird, noisy, and cutie grandchild


Wednesday, June 5, 2013

A Lil Family

  Gue pernah dulu banget bermimpi, gue punya keluarga kecil. Terdiri dari Gue, suami gue, anak pertama gue cowok dan anak kedua cewek. Keluarga kecil gue itu juga memelihara tiga ekor anjing. 

  Anak pertama gue secara fisik nyaris meniru gue. Mulai dari warna kulit, warna rambut, bibir, bulu mata, dan bola matanya. Sementara rambutnya ikal dan pemikirannya meniru suami gue. (Oke, gue jelasin dulu di sini, gue paling suka sama cowok rambut ikal dikarenakan rambut gue lurus). Anak cowok gue, jago banget main bass dan suaranya oke punya, vokalis dia ceritanya. Karena dimimpi gue enggak mau ribet, gue namain anak gue, Nick.
  Anak kedua gue lebih mirip suami gue. Bentuk lekukan matanya, lentik bulu matanya, bola matanya, hidungnya, kulitnya, bahkan kebiasaannya meniru bokapnya. Yang diambil anak cewek gue dari gue adalah rambut lurus-hitam dan lemotnya gue. Namanya, Eve.

  Nick berusia 17 tahun dan Eve baru memasuki usia 10 tahun. Ya, memang usia mereka terpaut jauh. Tapi, keakraban mereka sama seperti kakak adek pada umumnya. Moment yang gue senang, ketika melihat anak-anak gue tumbuh dengan sehat dan sempurna. Nick yang semakin lama semakin bertambah tinggi dan bahkan diumur semuda itu dia sudah setinggi suami gue, eh lewatin bahkan. 
  Oh iya, ketika berkeluarga, gue jago masak loh. Jadi, gue enggak ngebiarin anak-anak gue bete nungguin dapur dengan perut laper atau pun ngebiarin suami gue pulang kecapean lalu kaget liat enggak ada makanan di rumah.
  Setiap jumat, gue selalu belanja bersama Eve. Selain untuk memasak, gue juga nyiapin cemilan dan makanan kecil. Jadi, kalau ada tamu, gue enggak perlu repot-repot keluar beli makanan atau sekedar untuk kita cemil bersama sambil menonton televisi di ruang tamu. Kalau pun liburan tiba, gue selalu ngebujuk suami gue untuk menyisihkan waktunya supaya kita bisa bersama-sama. Minimal piknik, gitu. Dan meski pun gue dan suami sudah memiliki Nick dan Eve, gue tetap adain malam minggu, meski terkadang Eve join kita berdua. Kalau Nick, udah nyamperin ceweknya (yang terkadang berganti nyaris setiap tiga bulan sekali). *Ckckck anak cowok gue playboy mampus yak kayaknya :|*

  Awalnya, mimpi memiliki keluarga kecil diusia muda adalah hal yang menyenangkan. Itu pemikiran gue dulu. Bisa bayangin dong, usia 38 tahun dan anak gue 17 tahun. Itu usia yang tidak begitu jauh. Jika tidak ada halangan dan tetap sehat, gue masih bisa menikmati cucu gue meski usia gue masih terbilang muda untuk seorang nenek. 
  Tapi, seiring waktu, gue ngerti. Memiliki sebuah keluarga itu adalah impian semua orang. Entah mau cepat atau lambat, tapi minimal elu harus siapin mental dan hal-hal lainnya untuk kedepannya.

  Jika ditanyakan lagi, apa gue siap menjadi ibu muda, gue belum yakin bisa menjawab dengan kata 'YA'.  Ngurus hidup sendiri aja gue belum benar, gimana gue ngurusin hidup orang lain yang kemudian menjadi bagian hidup gue. 
  Intinya, membentuk dan menjadi bagian dalam keluarga kecil lu sendiri itu butuh persiapan matang. Persiapan yang enggak diukur dari umur tapi dari mental. Persiapan yang juga enggak cuma butuh mental tapi juga materi. Nurut gue. 



Note: 

   Nama anak-anak gue terinspirasi dari nama gue, Fanick. F menjadi Eve ketika dibaca. Lalu Nick. Sementara a-nya menjadi and. Maka jadilah anak-anak gue namanya Nick and Eve.

  Lalu suami gue? Itu dulu karena gue ngefans sama Nicholas Jerry Jonas, maka inspirasi gue dia. Tapi jujur, gue emang lebih suka cowok berambut ikal. Toh, nyokap juga berharap pasangan gue nanti rambutnya ikal. Kata doi sih supaya beragam rambut keturunan selanjutnya, enggak lurus-lurus mulu.

Sunday, June 2, 2013

Busy

  Gue heran, kapan gue bisa sesibuk orang di sekeliling gue. Banyak yang bilang gue enggak pernah sendiri. Tapi itu buktinya, mereka banyak yang sibuk sendiri meski pun mereka berada di sekitar gue. Katanya sebelum elu dimengerti, harusnya lu ngertiin orang lain dulu. Kalau begitu syaratnya, kapan gue bisa dimengerti ketika gue hanya butuh care dan waktu sebentar saja untuk menemani gue? Sebentar saja untuk hadir ato absen muka kata mereka.

  Gue berusaha melakukan yang gue bisa meski gue dicap bego ato bodoh karena gue enggak ingin temen gue ngerasa apa itu sendiri ato susah dan butuh bantuan. Giliran gue? Kenapa selalu timingnya enggak pernah benar. Kenapa harus gue?
  Ah, sial. Gue terdengar mulai bete dan bosan hidup sepertinya. But, menulis apa yang ada dipikiran gue hampir sama dengan gue curhat. Meski gue enggak tau siapa yang baca tulisan gue ini.

  Gue kangen kehangatan keluarga gue yang entah sejak kapan enggak sehangat yang dulu. Gue kangen para sahabat gue yang semuanya berjauhan tapi entah kenapa kini perlahan juga mulai terasa jauh. Gue kangen hangout bareng teman-teman gue yang juga mulai terpecah sana sini. Gue kangen gue kangen gue kangen dan gue rasa cuma gue yang merasakan hal ini.

  Gue masih gadis kecil yang kesepian. Sedih banget. Gue enggak butuh banyak orang. Cukup satu aja. Satu aja yang bisa selalu ada untuk gue. Satu yang mengerti gue, care sama gue, menggenggam tangan gue saat gue menangis, memeluk gue saat gue merasa sendiri, bercerita dan entahlah siapa itu.

  Gue benci orang sibuk. Gue benci orang cuek. Gue benci orang yang menganggap remeh, gue benci. Gue benci diri gue berada di kota ini. Mungkin, sudah waktunya buat gue, mencari jalan keluar dari kota ini, lagi. Yeah, gagal dua kali untuk meninggalkan kota ini selamanya*mungkin dan gue berharap begitu* bukan menjadi penghenti gue untuk mencoba lagi.