Tuesday, June 20, 2023

Envenom

Satu kata yang sangat kuat untuk menggambarkan keadaan pikiran dan perasaan, ini juga berasal dari pengalaman.

Kalau gue ditanya: Emang sayang itu sebenarnya bagaimana?

Jawaban gue untuk saat ini: Entahlah.


Berbicara untuk kata sayang, baik itu dalam konteks keluarga, pasangan, atau berteman, gue tidak tahu pasti kata-kata atau kalimat bagaimana yang pas untuk menggambarkan kata itu. Karena ya, bahasa cinta sayang satu orang itu berbeda-beda.

Tapi seriusan, gue sendiri memiliki pertanyaan, "Apakah memberikan racun merupakan bentuk sayang seseorang kepada orang yang disayanginya?"

*

Gue mendapat kesempatan untuk mengenal seseorang yang mungkin secara linimasa kami sudah pernah bertemu tetapi baru belakang benar-benar berkenalan. Bayangkan saja, lingkar pergaulan kami sekecil itu sejak dulu tetapi baru saling bertatapn menjadi diri sendiri belakangan ini. Tapi itu dia, kita tidak akan pernah tahu garis waktu cerita yang dituliskan seperti apa.

Kita sebut saja dia Yogi. 

Cowok asal Tangerang yang saat ini bekerja di Cikarang itu, gue kenal sangat random. Saking randomnya, gue kebanyakan tertawa. Ya bayangkan saja, sekecil itu ternyata bumi ini, sampai kami baru berkenalan di tahun 2023.

Anyway, back to the story.

Yogi menunjukkan gue buku yang pernah dia tulis untuk mantannya. Jujur, saat membaca itu, gue melakukan dua kesalahan diwaktu yang bersamaan.

Pertama, gue melihat ketulusan hati dan upaya yang dia lakukan dalam membuat buku itu. Dan gue iri akan perasaan dan usaha yang dia curahkan untuk buku itu.

Kedua, gue membandingkan tulisannya dengan tulisan yang mantan gue tuliskan untuk gue. Memang tidak satu buku seperti yang dilakukan Yogi untuk mantannya, mantan pacar gue hanya menuliskan beberapa lembar kertas. Tetapi gue meragukan isi tulisannya yang diarahkan untuk gue itu.


Yogi menuliskan buku berisikan cerita awal mula bertemu dengan mantannya itu. Diselipkan pula beberapa kalimat canda yang manis diikuti beberapa foto. Tidak ada satu pun dia membawa kalimat perbandingan antara mantannya yang kala itu adalah pacarnya, dengan pasangan sebelumnya. Ada juga Yogi menuliskan beberapa harapan untuk hari itu dan kedepannya. Belum lagi dia juga menghubungi dan meminta kata-kata dari beberapa teman-teman mantannya untuk diturut sertakan dalam buku tulisan itu.

Ya, tema buku itu memang ulang tahun.

Berbeda dengan tema karangan bebas yang gue terima dari mantan gue. Pastinya, momen gue terima itu dari mantan gue, saat Desember 2022. Ceritanya bagian dari kejutan natal pertama dan terakhir kami. Tapi, kalau gue di Juni 2023 melihat ke belakang, melihat itu semua sebagai tanda bersalah darinya.

Dia akan menikah bulan ini, gue tidak diundang pastinya. Karena gue kira kami bisa berpisah baik-baik, ternyata di hari esoknya gue mengetahui kebenaran kalau selama ini gue hanya diberikan kepalsuan yang jelas membuat gue bertanya-tanya: "Am I that worthless?"

ITU PEMIKIRAN SALAH KARENA GUE DALAM STATUS BERDUKA, BINGUNG DAN KECEWA.

Belum lagi gue punya luka dan trauma yang mendukung pertanyaan gue tersebut hingga menjadi sebuah pernyataan.

Padahal, gue sudah salah melihat dari titik seperti itu.

Kembali lagi pada waktu saat itu, pada bulan Oktober 2022 mantan gue menyisipkan foto seorang wanita yang dia akui adalah saudara. Semacam sepupu kali ya. Ternyata pada tahun Mei 2023 saat dia memutuskan gue, dia mengakui kalau itu adalah calon istrinya. Itu pun setelah gue paksa jujur.

Gue bodoh karena selama menjalin hubungan dengannya, gue memilih tuli dan tidak mendengarkan hati gue saat ada beberapa kejadian yang membuat gue ragu. Dan kalau gue susun setiap kepingan waktu yang sudah gue lalui bersama dia, gue rasa saat dia memberikan kemanisan demi kemanisan itu adalah kelegaan untuknya.

Ya ibaratnya, dia melakukan kesalahan lalu menebusnya dengan berbuat baik pada gue.

Jujur, gue kira dia benaran sayang pada gue. Tapi mana ada orang yang benar tulus sayang dan cinta sama elu, akan memiliki sejuta alasan untuk tidak menghubungi elu apalagi mengunjungi elu.

Jakarta dan Bogor terasa seperti Amerika dan Korea Selatan. Tidak hanya terbentang jarak tapi juga waktu. Kenyataanya mantan gue itu sering sekali menghilang tanpa kabar dengan alasan sibuk, sakit atau bahkan marah. Berhari-hari tidak membalas teks gue, bahkan enggan untuk mengangkat telepon gue.

Sementara kalau gue bandingkan dengan Yogi. Laki-laki itu berbeda. Gue yakin semua laki-laki normal yang memiliki tulus dan komitmen dalam hubungannya akan melakukan hal serupa dengan Yogi. Dimana Yogi rela mengemudi jauh agar bisa bersama dengan mantannya. Dia akan memberikan waktu agar bisa berkomunikasi dengan mantannya.

Gue sempat menyalahkan diri gue, ketika mantan gue memperlakukan diri gue seperti itu. Padahal itu pemikiran salah.

Salah sekali gue menurunkan standar idaman gue untuk sosok yang memang tidak mampu bersama gue tetapi mengerti titik lemah gue.

Jujur, mantan gue baik, tapi entahlah dia benar tulus baik pada gue atau kebaikannya memang tulus untuk beberapa orang tertentu saja.

Saat bersama mantan gue itu, gue kira gue akhirnya merasakan hubungan berpacaran sehat. Tetapi mana ada pacaran sehat jika satu sisi saja yang tulus dan komit. Beberapa kali pula gue mengoreksi kebiasaannya yang sering jika mengambek atau marah pada gue, dia akan mendiamkan gue berhari-hari.

Untuk kalian yang membaca ini: Jika dia marah dan butuh waktu beberapa jam untuk menenangkan diri itu adalah hal wajar. Tetapi kalau sampai pasangan kalian menunjukkan amarahnya dengan diam dan tidak komunikasi selama berhari-hari, hal itu merupakan racun. Tidak baik. Malah jahat.

Pernah gue ketahui dia sedang sakit. Dia memang mengaku sakit pada gue, walau tidak begitu paham dengan sakit dia yang sebenarnya kecuali migrain berat, tetapi gue pernah curiga hanya saja gue tepis. Bagaimana mungkin orang migrain berat masih bisa beraktivitas kerja dan ke sana kemari tetapi tidak dengan membalas pesan atau sekedar mengangkat telepon.

Bahkan pernah dia mengaku sakit tapi gue yang khawatir, mendapati kabar kalau dia ternyata sedang tampil dengan bandnya. Gue frontal ke dia dan jelas dia membalikkan semuanya ke gue, bilang kalau dia tidak bohong atas penyakitnya.

Ya, kalau dulu, gue merasa bersalah karena menyudutkan dia dengan kebenaran dan bukti yang gue punya. Tapi gue yang menulis ini sekarang berpikir kalau gue sudah hebat bisa mencari tahu kebenaran dan juga bodoh karena terus memberikan mantan gue kesempatan.


Gue tidak menyesal pernah memberikan perasaan, pikiran, waktu dan hal-hal yang gue sudah lakukan karena kala itu gue pikir kalau gue tidak sendirian dalam berkomitmen.

Tapi gue yang saat ini mempertanyakan: Seperti apa sebenarnya komitmen itu?


Menurut gue, kesalahan gue selama menjalin hubungan dengan mantan gue adalah:

1. Gue menurunkan standar yang gue miliki hanya untuk bersama orang yang tidak memiliki nilai serupa dengan gue.

2. Percaya ketulusan seseorang bisa muncul dengan memberikan berkali-kali kesempatan pada orang itu tanpa mendengarkan kata hati sendiri.

3. Menganggap dia rumah, hanya karena dia memberikan ilusi keberadaannya yang ada.

*


Kalau ditanya saat ini, "Apakah gue membenci mantan gue itu?"

Jawaban gue saat ini adalah, "Gue tidak punya waktu dan tenaga buat punya benci, apalagi buat orang yang tidak pernah benar-benar tulus hadir dalam hidup gue. Buat apa."


Kecewa ya, pasti. Gue kecewa tidak pada keadaan atau dirinya yang bisa-bisanya acting turut menangis dengan gue juga. Mungkin alasan tangisannya kala itu berbeda dengan gue. Kecewa yang gue rasakan adalah: kebodohan gue.

Tapi satu sisi gue bersyukur sama Yang Maha Kuasa. Gue tidak harus terus lama bersama orang seperti mantan gue itu. Bahkan kalau gue harus cerita hal baik yang dia lakukan buat gue, malah jatuhnya seperti hanya fantasi saja.

Karena ya itu tadi, setiap kali dia baik pada gue, ingatan gue kembali pada beberapa hal.

Dia mengaku beli nomor baru untuk mempermudah urusan kerjaan. Dimana dia lebih sering memberi kabar gue menggunakan nomor barunya, mungkin takut ketahuan calon istrinya kala itu. 

Gue sendiri bingung membuat garis waktu mantan gue itu. Apakah dia sama gue duluan baru selingkuh dengan cewek yang akan dia nikahi nanti. Yang diakuinya dijodohkan padahal, yah sori banget nih, sangat gue ragukan kalau dijodohkan, mengingat semua ucapannya banyakan bohongnya.

Atau dia sudah sama cewe itu duluan baru selingkuh dengan gue.

Entahlah. Tapi entah siapa pun yang lebih duluan, dipikiran gue: lingkungannya serupa dengan dia.

Gue ada ketemu sepupunya dan pernah ngobrol via telepon dan video call beberapa kali. Bertemu dengan salah seorang teman satu bandnya, pernah obrolan super singkat dengan adiknya dan teks nyokapnya walau ditanggapinnya ya dingin banget.

Berarti mereka semua tahu.

Dan mereka biarkan itu semua terjadi.

Lalu belakangan dia ngaku beli handphone baru, padahal saat bertemu terakhir, dia tidak pakai handphone baru. Malah bisa bilang dengan santainya, dia jual kembali itu handphone, padahal sebelum bertemu bilangnya hape lama yang dijual.

Asli, gue tidak bisa tuliskan berapa banyak kebohongan dia yang sudah gue percaya selama ini. Dan dengan model lingkungan yang mendukung omongannya, gue yakin mereka semua sama saja.

Jahat, ya, omongan gue? (Mana tahu dia baca) Ya, baguslah. Biar lu sadar, kalau yang gue tuliskan ini nyata dan benar-benar adanya. Belum ada karangan belaka.


Ada yang pernah bertanya: "Kalau mantan lu datang minta maaf dan mau balikan sama lu, apakah lu terima?"

Jawabannya: No.


Gue pernah memaafkan dia, berkali-kali. Tapi setelah semua terbuka, gue memilih menerima kesalahan gue sendiri dan memaafkan diri gue sendiri tetapi tidak dengan dirinya mau pun lingkungannya.

Balikan? Not in million years

Satu sisi gue ingin amnesia tentang mantan gue itu. Tapi di sisi lain, gue buat setahun lebih ke belakang merupakan pelajaran keras buat gue.

Apakah gue senang saat ini? Sangat.

Karena saat ini gue merasa, gue naik kelas. 

Gue yang kembali mengendalikan diri gue sendiri; bebas menentukan apa yang boleh masuk dalam pikiran gue dan perasaan gue. 

Urusan karma, ya gue percaya dengan [ Apa yang kamu tabur, itulah yang akan kamu tuai]

Gue tidak dendam, tidak juga akan merasa senang jika apa pun itu nanti terjadi pada dirinya atau lingkungannya, karena gue bukanlah siapa-siapa.


Untuk sekarang, gue memilih menerima dan legowo. Apa pun yang telah terjadi dari diri gue untuk dia yang gue berikan, gue ikhlas. Apa pun yang dia berikan entah itu hanya bersifat ilusi, kebohongan dan tidak tulus sekali pun, gue anggap sebagai berkat untuk pelajaran hidup gue. 

Percayalah, gue kemarin menangisi dia dan merasa hancur lebur, saat ini gue merasa bersyukur. Sangat bersyukur telah dijauhkan dari orang seperti mantan gue dan lingkungannya yang tidak pernah diberikan kesempatan untuk mengenal guenya. 


Terima kasih buat elu yang sudah baca sampai di baris ini.

Jangan pernah mempertanyakan nilai diri lu dan melemparkannya pada orang lain untuk menilai. Elu harus menguasai diri lu sendiri dan tetap pegang kendali atas diri elu, jangan sampai stirnya dikasih ke orang-orang tidak bertanggung jawab.

*

Dan untuk kamu yang menginspirasi, yang membuat aku berpikir [oh, masih ada yah, laki-laki seperti ini] walau bukan ke aku tapi setiap perasaanmu tersampaikan. Aku yakin, kamu memiliki panggilan dalam hidupmu. Terima kasih sudah memperlihatkan padaku, kalau ketulusan itu tidak ada batasnya dan tidak ada harganya.

Kamu hebat, terlepas dari segala luka yang kamu miliki saat ini. 

Kamu kuat, terlebih dengan apa pun yang sedang kamu hadapi dalam hidup ini.

Ayo, bercerita dan becanda bersama lagi dan selalu.

Sekalian, berdoa bareng lagi kita.

Sunday, June 11, 2023

2013 in 2023

 To be honest, I wasn't planning to write any more story about Naruto and Mikey back in the old days.

Jujur, masa untuk mereka berdua sudah berakhir setelah 2013 berganti menjadi 2014. Dan gue ingat banget, ketika dulu Naruto-gue berusaha meraih Mikey dengan cara yang salah; membalas twitnya dia. Ya, walau kadang tidak dibalas dan dibalas jadi dingin satu atau dua kata gitu, but at least I've tried.

Kenapa cerita mengenai gue dan Mikey dijaman dulu kala terbawa kembali pada tahun 2023? Karena gue masuk untuk menyelam, ke cerita awal gue mulai pacaran. Alasan utamanya karena pembelajaran yang ingin gue raih untuk menjadi manusia lebih baik lagi.

Gue ditinggalkan mantan pacar gue pada pertengahan bulan Mei 2023, tepat seminggu sebelum gue ulang tahun. Lalu sehari sebelum gue genap menjadi tiga puluh tahun, satu per satu kebenaran terkuak. Pada hari gue genap bertambah usia, gue menghabiskan waktu dengan menangis. Berharap semua hanya iseng darinya dan berharap semuanya hanya mimpi buruk belaka.

Kenyataannya setiap kali gue belajar membuka mata, menyadari setiap hal, ternyata semuanya nyata.

Satu demi satu kebenaran terkuak dan saat itulah gue memutuskan melihat jauh kebelakang. Berusaha mencari tanda tanya yang mungkin bisa jadi penyebab kesalahan-kesalahan gue terjadi saat memilih seseorang untuk menjadi pasangan gue. Apalagi sampai bisa merasakan rumah pada orang yang menghancurkan gue dengan segala kebohongannya.

Tadinya, mantan yang meninggalkan gue ini akan gue bawa pulang berkenalan dengan orangtua gue. Jujur, hal itu gue sampaikan di bulan April 2023 dan disetujui olehnya. Bodoh sekali, kalau diingat-ingat betapa gue bisa percaya pada sosok seperti mantan gue itu.

Dan itu membuat gue berpikir, apa mungkin kesalahan gue dimasa lalu menjadikan gue gagal melihat setiap pertanda yang sebenarnya sudah sangat jelas terlihat dan terdengar. Entahlah.

Tapi perlu diketahui, Mikey masa kini sudah berbahagia dan gue tidak ada niat merusak apa pun itu. Karena gue yakin saat ini gue dan dia hanyalah orang asing. Bukan pula barisan para bestie, ya kan bestiiii. Duh, kebayang dong gue nada centil dibuat-buatnya teman-teman cowok gue. 

Back to the story,

Banyak cerita yang gue curahkan dalam bentuk tulisan mau pun lagu ketika kita berbicara diri gue sebagai Naruto. Maklum, pertama kali ditinggalkan seorang pacar untuk seterusnya dari sebuah ikatan pacaran, jadi galau luar biasa.

Gue bawa kalian ke pertemuan kami saja malam itu, ya.

Mikey mengenakan baju kaos lengan panjang tipis bewarna cokelat kulit dengan garis-garis putih. Wajahnya kaget bercampur bahagia menyambut gue yang turun dari taksi. Gue masih ingat dia tanya gue mengenai susah atau tidaknya menemukan tempat itu dan jelas gue jawab iya. Orang tadi bapak taksinya sempat lewat.

Untuk pertama kalinya gue memasuki kafe bersama seorang pria asing. Gue mengikutinya dari belakang menaiki tangga dan pikir gue 'if he gonna kill me, I already told everyone where I went to and who I'm going to meet. He better be not do shit.' 

Ya, namanya anak baru gede yah, walau gue tipe orang nekat tapi pasti ada rasa takut juga. Apalagi ketemu cowok yang entah beneran sama atau tidak memiliki perasaan dengan gue di malam hari pula. Belum lagi, orangnya cute luar biasa, siapa tahu saja dia kriminal. Kriminal pencuri hati akyuh. Aiaiai.

Dan Mikey mengantarkan gue ke salah satu pojok sofa kafe dengan cahaya paling terang diantara yang lainnya. Syukurnya bukan panggung, kan nanti gue bisa tiba-tiba jadi badut. 

Dia menanyakan gue apakah gue sudah makan atau belum, jelas gue jawab belum. Sedetik kemudian dia meninggalkan gue, sesekali pula gue lihat dia lalu lalang. Gue yang merupakan anak baru gede dan sangat asing di tempat itu hanya bisa diam sambil membalas pesan singkat dari beberapa teman yang menanyai gue.

"Kamu sudah sampai?" - A, cewek teman satu kos dan mewakili pertanyaan teman-teman satu kos lainnya.

"Ketemu lu sama orangnya? Atau malah nyasar? Kita-kita jemput, gak?" - B, cowok mewakili beberapa teman-teman cowok satu kampus lainnya.

Gue tersenyum dan membalas mereka satu per satu.

Tidak lama, gue mendapati Mikey duduk kembali di sebelah gue. Satu tangannya direntangkan di atas sandaran sofa, tepat di belakang kepala gue. What a move, boi.

Seorang wanita berpakaian membentuk lekuk tubuhnya datang menghampiri. Kakaknya cantik dan seksi. Lagi-lagi, gue yang merupakan anak baru gede, terlihat polos sekali rasanya saat Mikey saling memperkenalkan kami berdua. Tapi gue bisa simpulkan kalau si kakak itu tidak tertarik dengan gue sama sekali. Buktinya, dia seolah ogah-ogahan menyambut salaman tangan gue dan tidak sedikit pun repot untuk melihat ke arah gue.

Bahkan gue pun lupa namanya siapa.

Setelah itu, dia berlalu pergi meninggalkan gue dan Mikey sendirian. Kami tidak banyak berbicara, mungkin karena sudah banyak bercerita semalam sebelumnya. Jadi kami hanya seperti anak kecil yang dimabuk perasaan saat itu, diam saling tatap. Sesekali melempar senyuman.

Sampai akhirnya dua orang dewasa datang menghampiri. Pria dan wanita dewasa itu dengan ramah dan gelak tawa menyambut gue berkenalan. Membuat gue merasa diterima, kalau harus dibandingkan dengan beberapa orang sebelumnya. Setelah makanan gue datang, nasi goreng dihiasi potongan daun bawang, Mikey kemudian berdiri.

Oh, dia berdiri untuk mengecek es teh yang dia juga pesan bersamaan dengan nasi goreng tadinya tapi tidak kunjung datang. Itu pun setelah dia menepis daun bawang dari bagian atas nasi goreng untuk gue. Jujur, dulu gue sangat tidak suka dengan daun bawang. Kalau makan itu, gue bisa eneg sampai muntah. Begitu juga dengan bawang putih.

But shits happened dan sekarang walau bukan di kategori doyan, gue setidaknya bisa makan daun bawang dan bawang putih.

Bang Mif dan Kak Fit, dua orang dewasa yang merupakan pasangan kekasih duduk di hadapan gue. Mereka sesekali mengajak gue berbicara mungkin kasihan kali ya karena gue seperti anak hilang tanpa sosok Mikey di tempat itu, sembari membiarkan gue makan malam nasi goreng porsi supir truk. Jujur, dulu gue tidak banyak makan. Belum lagi ketika gue tidak sengaja menggigit daun bawang. 

Mikey yang kembali duduk di samping kanan gue, menaruh segelas es teh. Dengan cepat gue meneguk minuman itu, berharap bau daun bawang akan hilang setidaknya sedikit.

"Kenapa tidak habis?" tanya Mikey.

Gue menggelengkan kepala, "Tadi kegigit daun bawang." padahal gue juga sudah kenyang dengan bertemu dirinya saja. Aiaiai.

Tapi kalau dipikir, Mikey pasti diam-diam kesal tuh. Itu cewek sudah dipesenin makanan malah tidak habis. Sekali lagi, bukan karena gue gengsi makan banyak, tapi memang dulu gue tidak doyan dengan daun bawang. Ditambah kalo gue makan itu porsinya sedikit. Dulu masih jaga berat badan cuy, kalau sekarang bodo amat sih gue.

Yang penting bisa jaga kesehatan sajalah, soal berat badan itu belakangan.

Tidak lama Bang Mif dan Kak Fit, gue lupa kemana waktu itu. Tapi kalau tidak salah, Bang Mif ada berkata begini pada gue, "Nanti kita hangout bareng rame-rame lagi ya, Fan. Sama si Gigi juga, sekalian ngehibur dia yang baru putus." lalu dia tertawa lebar, merangkul Kak Fit kemudian mereka meninggalkan kafe.

Gue membuka pembicaraan, kelamaan bertatapan dengan Mikey bisa membuat dinding pertahanan gue runtuh. Kita membicarakan soal tato. Bahkan detik gue menuliskan cerita ini, gue masih ingat ketika sentuhan jemari Mikey memberikan penjelasan di telapak tangan gue. 

Dirinya sendiri sudah memiliki tato logo twitter di pergelangan tangannya saat itu. Diikutin dengan marga keluarganya di bagian bawah. Ya, lu bayangkan aja kaya garuda dan semboyan indonesia. Jelas jauh dari situ sih, karena tatonya Mikey lebih ke imut-imut. Kartun burung warna biru. Makanya gue bilang logo twitter. 

Perhatian kami teralihkan saat seorang pria kurus tinggi datang menghampiri. Pria itu melihat gue dari atas bawah, seperti menghakimi penampilan gue di dalam pikirannya. 

"Gigi." ucapnya dingin, menyalam gue, itu juga karena diberikan pembukaan kalimat oleh Mikey. Dan ketika Mikey harus meninggalkan gue lagi, bertugas di kafe dia malam itu. 

Pria kurus tinggi itu duduk di hadapan gue. Tatapan tajam masih terlihat jelas di wajahnya. Tebakan gue saat mengetik ini, wajar sih kalau Gigi melihat gue seperti itu, kala itu. Dia saja baru putus, sementara dua bocah di hadapannya masih dimabok kepayang menjadi budak cinta sambil sesekali melap ingus.

Kemudian seorang pria bertubuh bongsor juga hadir, kami saling bersalaman. Brur namanya. Dia banyak diam ketika Mikey dan Gigi saling bercerita. Oh, di sini, Mikey sudah duduk kembali di sebelah gue. Dia tidak ikut merokok seperti teman-temannya yang ada bersama kami. Tapi hal kecil terhitung romantis yang dilakukan Mikey adalah: mengibaskan tangannya di depan wajah gue. Karena dia tahu gue tidak merokok dan tidak kuat dengan asap rokok.

Itu sebagian highlight yang gue masih ingat dalam memori pikiran gue mengenai pertemuan dengan Mikey dan teman-temannya.

Belum lagi saat mengantar gue kembali menuju kosan, gue dibonceng oleh Mikey dengan motor classic miliknya.

"Kamu orang pertama yang aku bonceng." katanya, berhasil membuat gue tersenyum lebar.

"Seriusan?" sahut gue, tidak sepenuhnya percaya tapi kini gue percaya sih. Karena begitu pulang sehabis antar gue, laki-laki itu langsung update status di twitternya. HAHAHAHAHA. Damn, boi.

Satu lagi, sebenarnya saat mengantar gue pulang balik ke kosan malam itu, Mikey tidak sendirian. Ada bang Brur ikut menemani dengan motor gedenya, dari belakang. Kalau dari ucapan Mikey saat diperjalanan, "Kalau-kalau motor ini mogok, biar kita minjem motor Brur. Trus dia yang jalan narik ini motor, kita lanjut naik motor dia."

Jelas gue tertawa terbahak-bahak menepuk pundak Mikey, pelan.

Gue masih ingat, dia mengenakan jaket jeans biru tua dan langit malam itu gelap tapi cerah.

Memori gue tidak buruk-buruk banget sih kalau mengenai itu. 

Dan begitu gue sampai di kosan, baik Mikey dan Brur menunggu gue masuk melewati pagar gerbang baru mereka pergi beriringan.

Ah, kalau mengingat momen itu, gue juga jadi ingat betapa langkah gue sangat ringan menaiki anak tangga dan berlari kecil di lorong, membuka pintu lalu seorang teman yang dari kamar mandi mendapati gue, "Sudah balik? Gimana tadi?"

Gue tersenyum lalu bersiap membeberkan semuanya, dikemudian hari. Karena malam itu, gue memilih berbaring di tempat tidur, melihat atap kosan dengan senyum bahagia. Tapi itu semua belum dilanjutkan dengan drama dikemudian hari, dimana gue akan bertemu Mikey lagi.

Mungkin gue tidak akan cerita detail banyak mengenai Naruto dan Mikey, tapi satu yang pasti: Mikey ingat tanggal jadian kita berdua, dimana gue benar-benar lupa. Tapi pada bulan kedua, Mikey keburu dalam pertengkaran dengan gue, jadi gue gunakan kartu "I remember our official date" buat melunakkan hatinya.


Sebenarnya ada beberapa cerita gue bagikan di blog ini pada tahun 2013 dan itu terinspirasi dari Mikey.

Setelah perpisahan kami bahkan dua tiga tahun setelahnya, gue pernah mengira gue melihat dia, as if we did cross path again. Entah waktu itu benaran dirinya atau tidak, gue hanya bisa tertegun.

Ada rasa nyeri di dada gue, melihat pria itu berjalan. Sampai detik ini, gue tidak tahu apakah setelah berpisah dengan Mikey, kami pernah berpapasan di jalan atau tidak. Atau sekedar melihat satu sama lain tanpa di sadari satu dan yang lain.

Mungkin bagi Mikey, gue bukanlah seseorang yang menyempil dalam hidupnya. Karena tidak seperti dirinya yang merupakan pacar pertama gue, gue ini bukan pacar pertama Mikey. Jadi pastinya, point of view kami akan berbeda.

Bahkan yang ada gue pernah jealous dengan mantan Mikey yang paling berkesan, sampai dijadikan cerita di blog dan inspirasi lagunya. Sial, gue benar-benar tidak dapat warisan sama sekali.

Tapi seriusan deh, kalau saja diri gue di 2023 ini bisa ada buat diri gue di 2013, mungkin gue tidak akan melalui banyak cerita untuk bertumbuh menjadi diri gue saat ini dan hari ini juga.

Segala luka yang pernah ada, gue akuin ada dan tidak gue tutup-tutupi. Toh, memang setiap goresan luka ini ada sebab dan waktu keringnya. Jadi, pelajaran untuk diri gue.

*

Oke segitu dulu ceritanya. Ini merupakan cerita lanjutan dari postingan sebelumnya atas request Bang Mif, yang adalah bukan nama sebenarnya but I know he knew who is he. 

Seperti dialog gue dan Bang Mif beberapa waktu lalu, ada banyak cerita antara gue dan Mikey. Tapi gue juga tidak mau terkesan terlalu banyak menceritakan Naruto-Mikey di tahun 2023, biar gue bisa cerita momen lainnya.

Dan kalau lu yang sudah membaca sampai baris ini, semisal lu masih ingin tahu beberapa penggalan cerita gue dan Mikey di masa lalu, lu bisa buka postingan gue di tahun 2013, di sana masih banyak pertinggal kisah kami berdua. 

Cukup dijadikan pembelajaran karena masa itu tidak akan bisa diulang kembali. But for me, Mikey in 2013 seriusan cute. In so many aspects, sayangnya jokesnya dulu tidak cocok dengan Naruto di tahun yang sama. Kalau Mikey 2013 bertemu gue di tahun 2023, kadang bikin gue penasaran, apakah dia akan bisa benar-benar terbuka dengan gue. Menjadi dirinya sendiri seutuhnya dan menemukan pasangan dalam diri gue. Karena gue yakin di tahun 2013, Mikey belum benar-benar menerima gue menjadi pasangannya saat itu. Masih ada beberapa hal yang membuatnya tidak sepenuhnya hadir dalam hubungan kami berdua.

Eh, tapi nanti gue jadi sama brondong dong yah. Secara gue sudah tiga puluh tahun dan dia dua puluh satu tahun. Walau sudah legal tapi tidak terima kasih. Pacaran sama brondong beda dua tahun saja gue dikibulin, apalagi sama brondong beda usia jauh.

Benar kata sahabat gue Nina sekitar tahun 2013, "Aku kapok sama brondong, beb. Banyakan kita yang mengerti dibandingkan saling mengerti satu sama lainnya."

Sebelum ada omongan, dewasa bukan dari usia, gue setuju. Kembali ke pribadi masing-masing. Gue sendiri masih ada sisi ke kanak-kanakkannya, tapi bukan berarti gue akan selingkuh dan tidak komit dalam hubungan yang gue jalani. Berbeda dengan mantan gue yang sudah hampir satu setengah tahun sama gue tapi komitmennya hanya sebatas -------oke bye.

Sunday, June 4, 2023

About Mikey

 Ah, sudah lama gue tidak menggunakan nama itu; Mikey. Literally was meant for him, who was the key for my closed cold heart.

Untuk seorang Mikey, gue ini cewe tampan, tomboy, keren, mandiri, cuek tapi perhatian. Beberapa kali Mikey mencoba menarik perhatian gue, alias needy, tetapi beberapa kali juga gue tidak menyadarinya.

Dia sosok penuh luka, tapi berusaha menutupi semua dibalik tawa canda. Sementara gue dengan segala trauma, hanya bisa memperhatikan dan diam-diam ingin dipahami tanpa pernah mengungkapkan luka-luka gue. Mikey beberapa kali bahkan menertawai kisah masa lalunya. Pikir gue, entah dia memang sudah berdamai atau mencoba untuk berdamai dengan itu semua.

Sebelas tahun.

Sebelas tahun lamanya untuk gue menyadari kalau gue perlu melihat kembali kisah jalinan cinta pertama gue itu. Pacar pertama gue yang sangat berkesan. Laki-laki Pisces lebih tua setahun tetapi kelakuannya kala itu masih sedikit kekanak-kanakan. Bahkan terkesan harus dewasa sebelum waktunya, diam-diam sama seperti gue.

Yang lagi, gue sadari itu setelah sebelas tahun berlalu.

Mikey merupakan anak kedua dari dua bersaudara, tapi dia memiliki saudara sambung. Tidak banyak yang gue ketahui tentang dirinya, setelah kami tidak lagi bersama. Hanya saja, kalau gue boleh berbicara mengenai diri gue dulu menceritakan dan melihat sosok Mikey dengan gue saat ini melihat dirinya di waktu bersama gue dulu, sayang sekali kita harus berakhir tidak jelas seperti itu.

Gue lahir dan besar tanpa mengetahui cara yang bisa diterima orang-orang kebanyakan ketika berkomunikasi. Seringnya gue dibilang "tidak jelas" dan gue terima itu dari dulu. Karena sering sekali, gue sendiri bingung menyampaikan niat dan maksud gue dalam sebuah pembicaraan. Tetapi Mikey kala itu, berusaha mengerti apa pun itu maksud dan niat gue.

Dia adalah orang pertama yang selalu menyuarakan kalau gue ini merupakan pasangannya. Yah, walau diingat-ingat saat berkencan dia lebih sering menghabiskan waktu mengurus ini itu yang berhubungan dengan kelangsungan hidupnya.

Gue bukan prioritas utamanya, itu pikiran gue dulu.

Padahal kalau gue ingat-ingat, gue ini adalah satu diantara prioritas utamanya. Dia selalu menganggap gue ada. WALAU PUN NIH YA MIKEY YAH, lu nonton Habibie Ainun sama sahabat cewek lu, tapi gue maafin.

Kesal bet gue kalau dengar betapa dia terharu dengan film itu. Tapi di sisi lain, dia terlihat ceria dan berbagi ke gue detail hari saat teman dekatnya itu berkunjung ke kota Semarang. Dimana mereka sekalian nonton film yang sedang booming saat itu.

Gara-gara itu pula, gue tidak menemukan keharuan atau bahagia nonton film Habibie Ainun. Tertawalah kau, Mikey.

Oh, Mikey ini sering mengemukakan gue dimuka umum. Gue yang merupakan pacarnya, entah supaya dikira tidak lagi sendiri alias jomblo atau memang itu kepribadiannya. Sementara gue, hanya mengikuti alur saja.

Ada momen yang gue paling ingat di kencan pertama gue dan Mikey setelah official jadian. Langit biru muda dengan awan putih menghiasi langit Tembalang, Semarang. Gue sigap mengenakan helm begitu deru motor CB milik Mikey semakin kencang terdengar. Senyumnya bersambut dengan senyuman gue. Lalu diturunkannya sandaran kaki bangku belakang, "Neng, ayo naik neng" begitu kira-kira ucapannya siang itu. Gue pun naik dan motornya yang gue beri nama Chibi, melaju, berderu mengisi jalanan siang itu.

Kebiasaan Mikey setelah turun dari motor adalah merapikan rambutnya. Heran, apa dia tidak sadar kalau dia itu sudah cukup tampan dan manis, bahkan dengan rambut berantakan sekali pun. Dia mengenakan jaket dan celana jeans. Kami bergandengan tangan memasuki mall.

Sesekali gue lepas genggaman kami karena tangan gue yang basah mudah berkeringat. Begitulah ketika gue gugup dan Mikey pun tahu. Dia tidak berkata apa-apa, bahkan setelah gue melap tangan ke jaket, barulah dia kembali menggenggam tangan gue.

Kalau diingat-ingat, momen menggandeng tangan Mikey adalah momen romantis. Karena gue bukan tipe orang yang suka physical affection, dulu. Tapi dengan Mikey, gue belajar mengerti kalau sebenarnya salah satu love language gue yang paling ketara adalah physical affection. Dan lagi, butuh bertahun-tahun untuk menyadarinya.

Pertama kali gue dekat dengan Mikey itu karena gue membutuhkan musik pendukung untuk rumah hantu festival dari jurusan gue. Dan kami berkenalan melalui tali pertemanan. Seingat gue ada kenalan dia yang juga kenalan gue, dari sana gue tahu ada seorang Mikey. Dia yang sibuk dengan kelangsungan hidupnya, mau membantu gue. Sebenarnya gue itu gampangan. Dalam artian, lu hadir saat gue membutuhkan seseorang, terlebih lagi bantuan, ada kemungkinan besar gue bakal tertarik sama elu.

Tapi balik lagi, kalau dari awal lu memang sudah unyu prikitiew seperti Mikey, tidak perlu manis-manis, pasti gue akan tertarik pada dirinya. Iya, Mikey. Laki-laki keturunan campuran. Papanya merupakan WNA asal Inggris lalu ibunya merupakan wanita indonesia. Kalian harus lihat betapa kedua matanya yang indah, bewarna cokelat kekuningan seperti madu rasa, melihat ke arah gue.

Celetuk gue, "Bahagia banget, lagi jatuh cinta ya?"

"Iyalah, orang sama kamu ini," Mikey pun memalingkan wajahnya sambil tersenyum. Ah, kalau diingat memang dia unyu sekali.

Ada beberapa kali gue membuat Mikey merajuk, hanya untuk memastikan dirinya cemburu. Iya, cemburu. Diri gue yang dulu pernah merasa Mikey tidak peduli kalau gue pergi sana sini dengan teman perempuan apalagi laki-laki. Sampai akhirnya nama Oranye muncul.

Senior gue, beda jurusan dan nama panggilannya adalah Oranye. 

Orangnya 'bebas'. Pernah gue taksir tapi itu jauh sebelum gue bertemu dengan Mikey. Jauh sebelum dialog diantara kami berdua untuk saling mengenal satu dengan yang lain. Buat gue, setelah gue mengenal Mikey, fokus gue akan berada pada dirinya saja. Dan ternyata gue gagal menunjukkan itu padanya saat bersama dirinya.

Ada juga Mikey pernah merasa kesal dan cemburuan hanya dengan gue menyebut nama Oranye. 

Si bodoh gue ini, kalau dulu melihat itu adalah kebanggaan. "Oh, ternyata dia masih suka sama gue" begitu pikir gue ketika Mikey cemburu.

Padahal dengan Mikey menunjukkan perhatiannya yang ingin gue perhatikan dalam setiap tingkah lakunya, sudah merupakan bentuk kalau needy-nya seorang Mikey pada diri gue dulu, sudah merupakan kebutuhan hadir diri gue dalam kesehariannya. Sayangnya, dulu gue merasa kurang sadar akan hal itu.

Terlebih lagi ketika Mikey mensyen soal berat badan. Walau pun dulu gue belum se-chubby hari ini, tapi gue sering kesal kalau sudah diomongin mengenai berat badan. Namanya juga anak baru gede, apalagi untuk cewek.

Banyak hal yang gue anggap sepele merupakan bayang-bayang dari trauma masa kecil gue. Bagaimana gue berusaha menyampaikan perasaan dan pikiran gue yang tanpa gue sadari belum terucap dengan sempurna melalui pemilihan kata.

Bagaimana cara gue memperlakukan Mikey saat itu, merupakan hal-hal yang gue pelajari sendiri. Karena sedari kecil gue sendiri tidak begitu banyak mendapatkan perhatian. Yang ada, gue merupakan anak kecil yang dipaksa dewasa. Dan akhirnya saat ini, gue yang kembali kekanak-kanakan.

Ada beberapa kesan yang ditinggalkan oleh Mikey, yang selama ini gue simpan sakitnya saja.

Mikey pergi setelah gue menyampaikan kesal dan uneg-uneg gue padanya tanpa nada tinggi atau banting sana-sini. Tapi kala itu, gue tidak sadar, kalau pacar pertama gue itu mempunyai luka yang mungkin belum sepenuhnya dia akui ada. Dan gue tidak peduli itu. Padahal yang namanya komunikasi harus dilakukan dua sisi, setelah satu mendengar dan satu lagi bertutur kata, maka posisi harus diganti berbalik. Komunikasi itu harus saling bukanlah satu-satu apalagi sampai sendirian dalam yang namanya suatu hubungan.

Tanpa gue sadari, gue benar-benar banyak belajar.

Meski pun waktu bersama Mikey sangatlah singkat, tapi gue ingat betul, selain karena galau ditinggal olehnya, gue pernah bucin parah. Bucin parah yang masih harus stay cool. Habisnya Mikey mengenal gue sebagai perempuan keren, ya harus gue pertahankan itu waktu itu. Sayangnya, runtuh ketika dia pergi dari hidup gue.

Mikey merupakan laki-laki romantis pertama yang memperlakukan gue dengan manis. Sangat manis sehingga telat gue menyadarinya.

Dia berani memperkenalkan gue ke dalam lingkup pergaulannya, tujuannya supaya dia tidak terlihat single saja sebenarnya. Tapi bolehlah yah, kalau gue mengakui itu karena memang Mikey ingin diketahui bahwa dia tidak sendiri, ada gue di sisinya saat itu.

Dia laki-laki romantis yang membonceng gue dengan motor klasiknya kala itu. Iya, gue penumpang pertamanya. Yang dia antarin pulang sampai depan kosan. Bahkan dia juga mengajak gue kencan dengan Chibi sekalian. Dia adalah laki-laki, pacar pertama, yang memastikan kalau helm gue benar-benar terpasang dengan baik dan benar. Itu pun disertai senyuman iseng manis unyu miliknya, dulu.

Laki-laki rambut ikal yang tatapan mata cokelat terangnya bisa meluluhkan hati, tapi dianya memilih berpaling malu-malu. Lucu kalau mengingat setiap momen itu.

Mikey juga laki-laki cemburuan, tapi tidak melalukan hal yang membuat gue terkekang. Tidak. Justru cemburunya membuat dia uring-uringan sendiri, lalu gue yang tidak memahami itu malah akhirnya ikut kesal juga. Dan kemudian terjadilah perang dingin.

Oh, ada momen dimana sangat berkesan buat gue. Ketika Mikey menelepon gue yang sedang sendirian di kos saat liburan natal. Dimana teleponnya dia gilir satu per satu ke teman-temannya yang gue kenal dan sudah bertemu. Benar-benar romantis kalau diingat.

Dan ketika dia juga menelepon gue malam-malam, hanya untuk memastikan gue masih dikos dan belum makan. Padahal itu sebenarnya gue sudah titip teman satu kosan. Sambil kesal pula gue mengangkat telepon itu, karena sudah lama tidak bertemu jadi yah merindu dan wajar kala itu. Tapi karena gue gengsi dan gue paham dia sibuk, gue tidak sampaikan perasaan gue.

Lalu hal berikutnya yang terjadi adalah, dia muncul di depan kosan dengan motor klasik yang berhasil membuat gue terharu. Bahagia. Apalagi anak-anak kosan yang juga teman-teman dekat gue pada lihat dari balkon lantai dua. Mereka heboh. Lucu, kalau diingat malam itu.

Banyak hal yang ingin gue tuliskan di sini mengenai Mikey. 

Mungkin masih luka juga yang kini gue hanya bisa tebak-tebak berhadiah untuk sebabnya. Tapi tanpa adanya sosok Mikey dalam hidup gue, mungkin gue tidak ada pertinggal becanda ala bapak-bapak yang masih gue bawa sampai saat ini. Asli, kangen masa itu.

Sayang sekali gue butuh waktu lama untuk menyadari semuanya yah, Mikey-yang-dulu-yah.


Untuk Mikey di masa sebelas tahun lalu dan mungkin hari ini juga:


Hai, ini aku.

Mungkin kalau ditanya "kenapa kamu pilih pergi?" jawabanmu tidak akan pernah terasa cukup karena sudah berlalu jauh sekali. Dan kalau aku harus menuliskan diriku di masa itu untuk bisa mengobrol lagi sama kamu yang ada di masa itu juga, sepertinya sudah sangat terlambat. Bahkan sudah banyak hal yang terjadi dan aku hari ini bukanlah aku yang dulu aiaiai, hahahaha begitu bukan, Mikey yang aku kenal. Suka pakai aiaiai. Dulu.

Aku minta maaf karena tidak mengerti kamu banyak-banyak waktu itu. Bahkan sampai lutut memar karena memohon pun, kita tidak akan bisa memutar waktu. Hanya saja, kalau boleh tersampaikan, aku ingin meminta maaf karena mungkin banyak hal saat itu tidak ter-artikan dengan baik oleh diriku di masa lalu.

Terima kasih banyak Mikey.

Terlepas dari candaan soal berat badan yang jujur dari dulu sampai sekarang pun adalah bagian dari insecurity aku, aku sangat bersyukur karena kehadiran kamu. Yakin deh, masa itu kamu juga pasti punya insecurity yang kamu sembunyikan dari aku, kan?

Ya, kan?

Tapi aku beneran mengagumi kamu.

Like the way you treated me infront of so many friends of yours, especially the male friends. Gosh, you should've seen yourself how you put the border whenever your male friends around or just tried to make a welcome-friendly conversation with me. Which back then I didn't get it, and took me long enough to realized that. 

I haven't met any guy like that since we're no longer together. I've dated several guy, and trust me I did know different type of male now. But so far, none has ever treated me the way you did whenever I was around the male friends.

No one has the protective, needy but still respect the partner, proudly introduce me to people even mentioned about me to the mother. But you did.

And I thank you for that, because now I know how it felt to be treated loudly and proudly like that. To be announced that I was someone's lover; to the world.

Maybe that's too late now, since the Mikey I've dated no longer existing and the me that Mikey dated no longer existing. But I put my armor down because I'm no longer in a war field and I want the babies as in us back then; if they could see me today, I don't have any grudges toward us, both then and now.

If I could say something to myself back then, I'd scold her and better be treat you right, better and learn how to open herself to you. Instead keep all the things hide in her brain, and then she will blame everything on her side. Which she shouldn't.

If I could say something to the Mikey back then, definitely I'd scold him too. Duh, I'm way older today compare to Mikey back then. So, I will tell him not to give up easily on her. She's the heavy road to walk into but she is worthy. If only you give her chance to see that in her, she probably get the shorter timeline to realized she's adored by you. And you'll get the chance to know that she saw things in you too, even when you thought you are not. 

She wanted to spend the day with you, if only you let her to.

She wanted to hear you, your mind, your feelings, your jokes, your pain, anything as long as it's you. She wanted all of you.

She loved you deeply and took her years to finally let go, to realized that you will not coming back to her, ever again. 

And I appreciate you then and now as my first lesson when it comes to relationship.

I don't know where the Mikey today but I wish you well, healthy and happy.

Heard you married now. I heard the news from Mr Fang Sing Sing, hope you still remember him too.

If then the Mikey got jealous over the story I wrote about Oranye while I was dating him, I hope no one get mad over this story. 

This is just a bite of my history-cookie. It's already made and baked well. The taste still there but can never make the exact same cookie again since the dough was special.

I have no grudges over you, Mikey. And I still remember the history of the name; Mikey that I made long time ago, which was stand for my-key. The key to my heart because he was my first boyfriend ever.


- Naruto

*

That's the story about Mikey, if he's not reading this; that's okay for me.

But for you, whoever you are, wherever you are; thankyou for your time to read this story of mine.




Wednesday, May 25, 2022

Lie To Me

Belakangan gue terombang ambing dalam ombak pikiran. Padahal tidak ada laut di dalam sana. Hanya saja, sama seperti laut, terkadang bukan hanya ombak yang mengerikan melainkan kedalaman laut itu sendiri.
Gue memilih bertahan di tengah ombak, walau tidak ada nikmatnya sama sekali. Tetapi jauh lebih baik dibandingkan jatuh tenggelam ke dalam pikiran.

Tidak ada yang tahu seberapa gelap pikiran gue. Enggan juga gue kasih tahu orang betapa mengerikannya di dalam sana. Hanya mereka yang pernah gue kabari, tahu akan hal itu. Walau pada akhirnya gue merasa itu keputusan yang salah.

Sendiri itu menjadi hal biasa tetapi kesepian perlahan menjadi sebuah kebiasaan.

Jujur saja, pelan-pelan gue berusaha untuk kembali belajar bagaimana caranya untuk bisa percaya. Lebih ke "gue akan buktikan pikiran gue kalau gue tidak menyesal berbagi ke elu" dibandingkan "jangan sampai lu lukain gue."

Semisalnya suatu saat nanti dia yang gue bagikan sepenggal cerita hidup gue, mengkhianati gue, itu bukan salah gue sudah berbagi melainkan sudah jalan hidup seperti itu. Terkadang kita dibuat tinggal bahkan mengenal racun, menjadi sakit untuk mengerti adanya sehat.

My current partner is my ex from four years ago.

Dia yang dulu pernah gue anggap mengecewakan gue karena adanya miskom diantara kita, but that was another story.

Dari pertama kembali menjalin komunikasi kembali, gue merasakan pertumbuhan dirinya. Dia yang semakin dewasa atau memang gue yang tetap tertahan di tahap kanak-kanak? Entahlah. Walau pun lebih muda dua tahun, tetapi gue sangat menghargai dan menghormati dirinya.

Alasannya?

Karena dia jauh lebih menghargai dan menghormati gue. Seringnya begitu. Kadang gue juga jauh lebih menghormati dia...kayaknya sih begitu.

Paling sering adalah bagaimana dia membiarkan gue memilih sesuatu. Terlebih lagi sesuatu itu untuk gue sendiri, sebut saja makanan dari menu di tempat makan.

Sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, another sad truth: gue seringnya menerima tanpa ditanyai pendapat gue. Sering gue iri pada adik-adik gue karena mereka mendapatkan kesempatan untuk memilih dan ditanyai apa mau mereka. Contohnya soal makanan atau minuman.

Makanya ketika pasangan gue bertanya atau membiarkan gue memilih, gue membutuhkan waktu lama atau bahkan sangat sebentar karena asal pilih. Gue masih belajar, belum terlalu biasa. Tetapi dia, sabar menunggu. Tidak pernah mendorong gue kencang untuk mengikuti aliran dirinya.

Kecuali kalau gue memilih menyerah dan memberikan segala keputusan untuk diambil olehnya.

Hal kecil lainnya yang membuat gue merasa dihargai adalah ketika dia meminta ijin melakukan sesuatu, tentunya menyangkut gue juga.

Seperti menggandeng tangan, berpelukan, mengangkat telepon, bahkan ketika dia mau menghisap vape dan gue ada di sebelahnya.

Oh tentang mengangkat telepon. Kalau biasanya kebanyakan orang memberi tanda lalu menjauh, pasangan gue benar-benar meminta ijin pada gue. "Aku angkat telepon sebentar, boleh?"

Setelah gue mengangguk, barulah dia menjauh untuk mengangkat teleponnya. Dia mungkin tidak tahu seberapa manis hal kecil itu. Benar-benar membuat gue merasa, 'ah gue beneran dianggap ada.'

Kita pernah ribut? Tentu.

Terakhir karena masalah komunikasi. Memang komunikasi ini tidak ada habisnya.

Gue tidak pernah mempermasalahkan kesibukan pasangan gue dengan pekerjaannya. Toh kalau kerjaannya lancar, gue juga secara langsung menerima imbasnya. 

Kala itu kita sudah janjian, bukan bukan jalan-jalan ke sana kemari untuk haha-hihi, melainkan berhubungan dengan kerjaan guenya. Dan dia belakangan hilang tanpa kabar. Harusnya gue tinggalkan pesan segala macam saja buat dia bisa jawab ketika ada waktu, tetapi gue tipe yang akan diam juga. Memilih menunggu sampai dia ada waktu untuk memberi kabar.

Dan itu salah satu hal yang gue usahakan untuk pelajari pelan-pelan.

Karena tanpa gue sadari, di sisi lain, dia sendiri menyibukkan dirinya memenuhi hari agar ketika kemudian hari dipakai untuk menemani gue, tidak akan terganggu.

Puncaknya, malam itu, gue telepon dia. Percayalah gue bukan tipikal suara tujuh oktaf kalau marah. Apalagi kalau sangat marah, biasanya semakin rendah dan gue tekankan setiap kata. 

Pernah gue sangat-sangat marah, gue tidak bisa berkata apa-apa, hanya tertawa saja. Tapi yang pernah melihat versi itu bilang, tatapan mata gue mengerikan. Untung gue belum pernah melihat diri gue sendiri itu. 

Gue masih ingat, betapa dia terdengar syok dan terdiam. Iya, akhirnya kita tidak jadi pergi dan gue juga yang merasa bego sendiri.

Tetapi ketika kita membicarakan hal itu, gue ingat kata-kata pasangan gue. Kurang lebih seperti ini, "Engga lagi-lagi deh bikin kamu marah apalagi sampai marah banget."

Padahal dirinya sendiri kalau marah lebih serem dari gue. Belum pernah tapi sudah kebayang gitu sama guenya.

Dia juga tipe pasangan loyal, tidak terlalu perhitungan kecuali memang kita berbagi untuk menghitung sesuatu. Sejauh ini dia belum pernah mengeluarkan kata-kata, "Kan aku sudah kasih (sebut saja pizza) buat kamu, harusnya kamu dengerin aku dong."

Atau kata-kata serupa lainnya seperti itu.

Makanya gue sering bertanya sama dia, "Kamu engga apa-apa kasih aku ini itu?"

Dan dia jawab, "Engga apa-apa. Kenapa memangnya?"

Gue terdiam. Dia tidak tahu saja betapa gue sering dikelilingi orang perhitungan atau yang memberikan sesuatu dengan harapan untuk diperlakukan sesuai mereka inginkan. 

Maka dari itu seringnya ketika ditanya, "Kamu mau apa?" gue sering menjawab, "Engga tahu."

Gue trauma. Gue takut. Bagaimana kalau setelah menerima sesuatu dari orang itu, gue tidak bisa memberikan apa pun yang mereka inginkan. Atau bagaimana jika gue menjadi sosok yang mengecewakan.

Perlahan pasangan gue mematahkan itu. Dia memberi tanpa mengharapkan kembali. Eh, ada ding. "Yang penting kamu senang, kamu bahagia." Itu harapannya.

Terlalu banyak hal yang ingin gue ceritakan dari pasangan gue ini. Gue sendiri belum terlalu bisa membaca aliran dia.

Gue pikir dia tidak romantis. Ketika gue berkata, "Wuah ada toko bunga!"

Dia berkata, "Kamu mau?"

"Ya maulah!"

"Beneran mau?"

"Mau tapi kamu inisiatif dong. Kasih tiba-tiba gitu, jangan diaba-abain. Jangan aku bilang mau terus baru kamu kasih."

"Okeh!" katanya sambil menganggukkan kepala. 

Ternyata romantisnya dia adalah selalu mendengarkan gue bercerita tanpa menyela hingga memastikan gue merasa baik sebelum meninggalkan gue. Meninggalkan gue untuk tidur atau keluar dengan urusannya, misalnya.

Membuat gue sering berpikir, kenapa orang seperti dia mau menjalin hubungan (kembali) dengan gue?

Gue dari awal sudah menyataan keadaan gue secara mental dan fisik tidaklah sama dengan gue empat tahun lalu.

Tetapi dia tidak pernah mempermasalahkan itu semua.

Beberapa kali dia mengatakan seperti ini:

"Aku lihat senyum kamu saja, aku sudah senang banget. Kamu bercanda, kamu tertawa bareng aku, aku sudah senang banget."

Dia yang menunjukkan perjuangan untuk berubah, terlebih soal komunikasi ketika sibuk. Gue sangat menghargai itu.

Pasangan gue tahu seberapa rusak diri gue. Rusak dalam konteks kesehatan loh ya. Tetapi dia memilih tetap ada. Gue mendorong dia untuk menjauh? Beberapa kali gue coba. Bukan mengetes kesetiaannya tetapi memang gue sering merasa gue tidak pantas untuknya.

Dia berhak untuk bahagia dan gue sering merasa kalau kebahagiaan itu akan didapatnya dari orang lain yang bukan gue. Tetapi disaat bersamaan, gue belum siap kalau dia bahagia bersama oranglain dan bukan diri gue. Egois banget gue jadi manusia. Tapi benar begitu adanya.

Gue masih mau membahagiakan dirinya. 

Sama seperti ucapannya, gue juga merasa bahagia banget liat dia bisa tersenyum tertawa karena candaan gue. Bahkan yang garing sekali pun dia akan tersenyum geli turut tertawa. Ah, jadi kangen dengan muka bodohnya itu.

Gue juga ingat ada moment kita sedang serius tetapi tertawa pecah karena sesuatu hal, percaya atau tidak, di sana gue menyadari 'ah gila, gue sayang kebangetan sama ini orang. Bisa kan waktu berhenti sejenak buat gue bisa terus melihat wajah ceria dan tawanya ini.'


Satu hal lagi, pasangan gue tahu betul gue sangat suka menulis. Baginya tulisan gue itu bisa menyentuh, untuknya. Karena itu pendapat dia. Bisa dibilang dia itu penggemar karya tulis gue. Mungkin karena gue pernah tulis tangan beberapa kali surat untuknya. Yang kalau gue tidak salah, meski sudah beberapa tahun berlalu, dia masih menyimpannya. Kalau tidak salah.

Gue tidak mau berharap banyak karena gue takut. Apa pun yang ada di dunia ini, tidak sepenuhnya milik gue. Jadi sampai waktunya nanti, entah kapan, gue mau mencoba untuk belajar kalau tidak apa-apa bersandar padanya.

Dia ada di sini untuk gue. Tidak sekadar kata kosong, tidak pula sebuah janji. Tetapi as simple as, "Aku temani kamu, yah. Boleh, kan?"

As simple as, "Kamu sudah bagaimana perasaannya?"

As simple as, "Kamu mau kita kemana habis ini?"

As simple as, "Kamu engga perlu pikirin aku, yang penting itu kamu." 

Gue tidak tahu dia sadar atau tidak mengatakan kalimat itu, tetapi sendirinya dia memikirkan gue. Ataukah hanya kedok belaka? Astanagah.

Oh, by the way...he's a cancer and I'm gemini.


















Saturday, May 26, 2018

Chasing Pavements

  Ini salah satu lagu favorit gue dari beberapa tahun lalu. Inget banget salah satu junior sering nyanyiin ini lagu kenceng-kenceng. Mulai dari kamar sampe kamar mandi. Jadilah lagu ini nempel dalam benak gue.
  Awalnya, gue enggak mengerti feel dari lagu ini. Kalau artinya sih, gue ngerti. Secara ada google translate. HA!

  But, honestly, kalau elu mengalami suatu hubungan yang lu berdua punya rasa tapi yakin hubungan itu engga ada masa depannya, lagu ini menggambarkan banget.
  Udah, enggak usah sedih. Karena gue bakal kasih cerita gue, yang baru gue sadari; lagu ini banget.

  Sebut saja dia Ben (like Bennedict, Benjamin, or Benson--like my dad's family name.) Okay that was weird, let's change it to Nick.

  Jadi cerita ini cerita baru namun lama tapi belom basi. Bingung kan lu?

  Gue paling enggak tahan sama orang yang sempurnanya abis-abisan. Yap, begitulah Nick. Sempurna abis, bo'!
  Mulai dari penuturan kata-katanya-disertai suara manis lembut nan menggoda itu, lalu perlakuannya yang gentleman tapi juga bikin emosi kepancing kalau-kalau elu merasa jadi kaya jauh gitu kelasnya dari dia, terus semuanya tentang dia.
  Nick itu tipikal orang yang akan berkata hal seperlunya saja. Dia enggak bakal ngehabisin waktu percuma. Tapi bukan berarti dia enggak bakal ngehargai omongan lu, walau pun itu kosongan belaka. Dia bakal tetap hargain elu.
  Satu hal yang gue geli sama Nick adalah, selera humor gue dan dia yang sangat berbeda jauh. Oh, oh, dua hal ding, sama level sarkasme kita yang juga berbeda.

  Kalau dibilang kita berdua itu ibarat koin, berbeda banget mau dari kepribadian, jalan pikiran sampe fisik (ya iyalah yaaa).
  Itu yang membuat gue ragu sementara dia percaya diri kalau kita berdua bisa melewati ini. Yap, Nick dan kepribadiannya yang sempurna itu percaya kalau kita adalah koin yang saling melengkapi satu sama lain sementara gue berkata, "tapi kita enggak jalan bersama-sama karena kita koin."

  Butuh kesabaran ekstra untuk Nick menanggapi gue. Begitu pula dengan gue untuk menghadapi Nick.
  Namanya juga hubungan, seringnya kesalahan pada komunikasi akan mengurangi rasa, ya kan?
  Dalam kasus gue, sejak gue kenal dia sih, gue udah pernah bilang sama diri gue sendiri, 'ini enggak bakalan berhasil.'
  Mungkin karena itu kali yah, Nick berusaha meyakinkan gue. Salut gue sama dia.

  Tapi disaat yang sama, gue terus aja disadarkan kenyataan; there's things you can't win against.
  Dan disaat itu pula Nick berkata; you and me against the world. (iya kaya lagu R.O.D nya GDragon)
  Ingin gue percaya, walau sedikit aja. Jujur, sulit banget.

  Oh, iya, gue yakin lu pasti bertanya-tanya, apaan sih segitunya sampe elu gak yakin. Atau, kalau elu enggak yakin ngapain juga lu jalanin.

  Kita itu memiliki banyak sekali perbedaan, sebagian besar adalah perbedaan yang dibuat oleh manusia sendiri. You know, like beda kelompok dan sebagainya yang sengaja gue enggak mensyen biar enggak ada tersakiti--eaaaa.
  Nick enggak pernah mempedulikan perbedaan kita berdua. Dia seakan siap dengan segala akibat karena kebersamaan kita.
  Sama satu lagi, Nick itu tipe pemimpin. Tapi karena dia menghargai gue, dia ngebiarin gue ngambil keputusan. Dia akan menanya pendapat gue dan benar-benar menunggu untuk itu. Betapa gue semakin yakin ini pria bukan untuk gue.

  Because I'm afraid I might hurt him.
  Seringnya gue salah dalam mengambil keputusan. Lalu pria ini masih dengan yakin membiarkan gue untuk mengemudikan mobil barunya. Dia sabar akan gue, satu yang menjadi sulit kalau nanti gue merindukannya di masa depan.

  Nick itu sibuk. Sangat-sangat sibuk. Awalnya gue enggak bisa. Maklum, gue tipikal orang yang pengen banget diperhatikan. Apalagi oleh seorang Nick yang fyi gue hak-milik (eaaa, mampoes).
  Gue pernah ungkapin ini sama dia, dua kali kalau enggak salah. Yang pertama dia memaparkan kesibukannya. Dan yang kedua, masih sama, memaparkan kesibukan sekaligus menunjukkan kalau dia sedang sakit. Saking sibuknya dan minus diperhatiin.
 
  Gue egois? Jelas. Nick egois? Lebih jelas.
  Tetap yah, gue enggak mau kalah. Namanya juga wanita.

  Tapi kita masih bertahan. Lucu, aneh. Dan yah, gitu deh.

  Kalau ditanya, gue senang enggak sih selama dengan Nick? SENENG BANGET GUE NJIR.
  Walau dia rada cool-cool gimana gitukan, apalagi kalau sedang sibuk. Gemes gue pengen gangguin. Dia multitasking gitu orangnya. Beda banget sama gue. Jadi kalau pas dia sibuk tapi skaligus sama gue, dia bisa gitu bagi otaknya untuk gue satu, untuk kerjaannya satu.

  Nick: Ngapain sih, makan pedas? Toh akhirnya nyiksa diri sendiri. Bikin perut sakit blablabla

  Yep, itu kata dia pas gue makan pedas. Dia? Enggak.
  Gue tarik kata-kata gue dari dulu; cuman jalan sama orang yang doyan pedes.

  Dia itu orang yang hidup sehat. Mungkin karena bidang dia juga kali yah. Ya, sudahlah yah. Semakin jadi sosok Nick ini tergambar sangat sempurna di benak lu.

  Balik ke judul dari postingan ini.
  Kita itu ribut, ya pastilah. Tapi dia bilang itu bukan ribut. Masih dengan muka keren kalem plus nada suara manis menggoda itu.
  Kebayang enggak sih lu, dia kalau ngomong sama gue nadanya tuh muanis bet. Sementara kalau sama bro-bro alias teman-temannya yah laki banget gitu.
 
  Nah, terungkaplah satu lagi sisi berbeda gue dan Nick. Gue itu spontan dan dia tertata. Salah satu mengapa kita sering berdebat. Bagaimana Nick berharap gue bakal bersama daftar tata rapi itu, sementara gue berharap dia untuk lebih spontan daripada terjebak sama sempurna daftar itu.

  Gue suka banget sama kedewasaan dia. Sementara gue kanak-kanak masihan. Lagi, alasan mengapa gue enggan untuk pergi tapi juga berat untuk tinggal. Takutnya, gue enggak bisa ngimbangin dia.

  Gue: You do have no sense of humor, huh?
  Nick: I do have mine.

  Atau pas momen ini,

  Gue: Gosh, you do realize we're having a fight right now?
  Nick: No. This isn't fight.
  Gue: Trus apaan dong?
  Nick: Diskusi. Mencari jawaban, hingga sama-sama setuju.
  Gue: ...

  Atau pas gue nyindir dia,

  Gue: Oh gosh, kamu itu cute banget sih.
  Nick: *ketawa* Thanks?
  Gue: *sighed* You know what, nevermind.
  Nick: Huh? Kenapa? Did I miss something?
  Gue: No.

  Atau pas gue berusaha becanda,
 
  Gue: Iya, siapa tahukan abis itu kamu bakal terkekeh trus kebawa tidur, sembunyi di dalam selimut.
  Nick: ...no.
  Gue: *krik-krik-krik


  Yap, gue baru aja menjadikan sosok Nick yang sempurna terdengar kaya asswhole. HA!
  Tapi sebodolah.

  Gue senang ketika dia ada, dan masih membayangkan kalau nanti kita jalan masing-masing. Enggak ada satu sama lain.
  Mungkin bakal minus ribut enggak jelas. Mungkin bakal minus krik-krik yang lebih enggak jelas. Mungkin bakal minus mendukung bidang yang bertolak belakang. Mungkin bakal minus segala rencana dia yang tertata rapi kaya rambut lurus dikasih vitamin sehabis di creambath trus disisir.

  Tapi untuk saat ini, gue masih bingung.
  Entah gue harus terus berjalan meski gue enggak yakin sampai kapan bakal jalan datar kaya gini. Atau haruskah gue berhenti dan mengikuti arah menuju jalan lainnya.

*


  You taste like a dream, that won't come true.
  I love it, and I hate it.
  Wish you'd be real, but we both know
  You're just too good.
  Too perfect.
  But here I am,
  Waiting for you
  To reach me out of blue.
  Because you're the land,
  and I'm the sky.
  All I can do is,
  watching over you.


      "So, what do think?" I asked as I put down my pen and paper. He smiled, "It's good. Really good."
  I laughed, "Inspired by you."
  I saw his cheeks turned red. But I felt the ache around my chest.
  That's when I realized, I want this man but also ...


   



  

Wednesday, April 4, 2018

Future

Colors; nothing to see, yet.
And unlike now, it's just a silence in front.

  Tell me to keep my chin up, when my hopes go down.
  For my steps walking straight forward, even when things try to stop me.
  
Promise me nothing, if it means empty.

  Stay; without me asking you.
  Leave; whenever you want to.

Sunday, April 1, 2018

Dear Broken Angel

We are all growing up with broken pieces inside.

  But for the first after along time, I wish, I could be strong. Strong enough to protect you from the nightmares and worries. I want to be the person, who'd hug you tight and says; things will be alright, because I'm here.
  Instead I said, "You're doing great so far. You're doing great."
  You smiled.

  It was windy. The coldness drove you lonely. For you to know, I'll stay for you only.
 
  When your wings are broken, you'll learn how to walk. For your feet touching the ground, it'll be hurt...sometimes-most of the times. 
  But I see the strength from your sad-sorrow eyes. That's how I know, they did hurt you bad. The time you were able to fly and the time you learned to walk.
  As I listened to your stories, the more I wish to hold you tight to keep you safe.

  Let me be the reason for you to laugh freely. 
  Keep the door open for me.
  At least, until I get there.

  To the little boy inside the grown man I'm falling into, don't be scared. I'll be right there for you. I'm coming.

     For you, I'll jump and-then fall.
     You're welcome here, you can stay here.
     For you, I'll share the lights so you won't stay in dark-forever, alone.
     Yeah...I need that. I guess I need that-I need you.