Saturday, May 26, 2018

Chasing Pavements

  Ini salah satu lagu favorit gue dari beberapa tahun lalu. Inget banget salah satu junior sering nyanyiin ini lagu kenceng-kenceng. Mulai dari kamar sampe kamar mandi. Jadilah lagu ini nempel dalam benak gue.
  Awalnya, gue enggak mengerti feel dari lagu ini. Kalau artinya sih, gue ngerti. Secara ada google translate. HA!

  But, honestly, kalau elu mengalami suatu hubungan yang lu berdua punya rasa tapi yakin hubungan itu engga ada masa depannya, lagu ini menggambarkan banget.
  Udah, enggak usah sedih. Karena gue bakal kasih cerita gue, yang baru gue sadari; lagu ini banget.

  Sebut saja dia Ben (like Bennedict, Benjamin, or Benson--like my dad's family name.) Okay that was weird, let's change it to Nick.

  Jadi cerita ini cerita baru namun lama tapi belom basi. Bingung kan lu?

  Gue paling enggak tahan sama orang yang sempurnanya abis-abisan. Yap, begitulah Nick. Sempurna abis, bo'!
  Mulai dari penuturan kata-katanya-disertai suara manis lembut nan menggoda itu, lalu perlakuannya yang gentleman tapi juga bikin emosi kepancing kalau-kalau elu merasa jadi kaya jauh gitu kelasnya dari dia, terus semuanya tentang dia.
  Nick itu tipikal orang yang akan berkata hal seperlunya saja. Dia enggak bakal ngehabisin waktu percuma. Tapi bukan berarti dia enggak bakal ngehargai omongan lu, walau pun itu kosongan belaka. Dia bakal tetap hargain elu.
  Satu hal yang gue geli sama Nick adalah, selera humor gue dan dia yang sangat berbeda jauh. Oh, oh, dua hal ding, sama level sarkasme kita yang juga berbeda.

  Kalau dibilang kita berdua itu ibarat koin, berbeda banget mau dari kepribadian, jalan pikiran sampe fisik (ya iyalah yaaa).
  Itu yang membuat gue ragu sementara dia percaya diri kalau kita berdua bisa melewati ini. Yap, Nick dan kepribadiannya yang sempurna itu percaya kalau kita adalah koin yang saling melengkapi satu sama lain sementara gue berkata, "tapi kita enggak jalan bersama-sama karena kita koin."

  Butuh kesabaran ekstra untuk Nick menanggapi gue. Begitu pula dengan gue untuk menghadapi Nick.
  Namanya juga hubungan, seringnya kesalahan pada komunikasi akan mengurangi rasa, ya kan?
  Dalam kasus gue, sejak gue kenal dia sih, gue udah pernah bilang sama diri gue sendiri, 'ini enggak bakalan berhasil.'
  Mungkin karena itu kali yah, Nick berusaha meyakinkan gue. Salut gue sama dia.

  Tapi disaat yang sama, gue terus aja disadarkan kenyataan; there's things you can't win against.
  Dan disaat itu pula Nick berkata; you and me against the world. (iya kaya lagu R.O.D nya GDragon)
  Ingin gue percaya, walau sedikit aja. Jujur, sulit banget.

  Oh, iya, gue yakin lu pasti bertanya-tanya, apaan sih segitunya sampe elu gak yakin. Atau, kalau elu enggak yakin ngapain juga lu jalanin.

  Kita itu memiliki banyak sekali perbedaan, sebagian besar adalah perbedaan yang dibuat oleh manusia sendiri. You know, like beda kelompok dan sebagainya yang sengaja gue enggak mensyen biar enggak ada tersakiti--eaaaa.
  Nick enggak pernah mempedulikan perbedaan kita berdua. Dia seakan siap dengan segala akibat karena kebersamaan kita.
  Sama satu lagi, Nick itu tipe pemimpin. Tapi karena dia menghargai gue, dia ngebiarin gue ngambil keputusan. Dia akan menanya pendapat gue dan benar-benar menunggu untuk itu. Betapa gue semakin yakin ini pria bukan untuk gue.

  Because I'm afraid I might hurt him.
  Seringnya gue salah dalam mengambil keputusan. Lalu pria ini masih dengan yakin membiarkan gue untuk mengemudikan mobil barunya. Dia sabar akan gue, satu yang menjadi sulit kalau nanti gue merindukannya di masa depan.

  Nick itu sibuk. Sangat-sangat sibuk. Awalnya gue enggak bisa. Maklum, gue tipikal orang yang pengen banget diperhatikan. Apalagi oleh seorang Nick yang fyi gue hak-milik (eaaa, mampoes).
  Gue pernah ungkapin ini sama dia, dua kali kalau enggak salah. Yang pertama dia memaparkan kesibukannya. Dan yang kedua, masih sama, memaparkan kesibukan sekaligus menunjukkan kalau dia sedang sakit. Saking sibuknya dan minus diperhatiin.
 
  Gue egois? Jelas. Nick egois? Lebih jelas.
  Tetap yah, gue enggak mau kalah. Namanya juga wanita.

  Tapi kita masih bertahan. Lucu, aneh. Dan yah, gitu deh.

  Kalau ditanya, gue senang enggak sih selama dengan Nick? SENENG BANGET GUE NJIR.
  Walau dia rada cool-cool gimana gitukan, apalagi kalau sedang sibuk. Gemes gue pengen gangguin. Dia multitasking gitu orangnya. Beda banget sama gue. Jadi kalau pas dia sibuk tapi skaligus sama gue, dia bisa gitu bagi otaknya untuk gue satu, untuk kerjaannya satu.

  Nick: Ngapain sih, makan pedas? Toh akhirnya nyiksa diri sendiri. Bikin perut sakit blablabla

  Yep, itu kata dia pas gue makan pedas. Dia? Enggak.
  Gue tarik kata-kata gue dari dulu; cuman jalan sama orang yang doyan pedes.

  Dia itu orang yang hidup sehat. Mungkin karena bidang dia juga kali yah. Ya, sudahlah yah. Semakin jadi sosok Nick ini tergambar sangat sempurna di benak lu.

  Balik ke judul dari postingan ini.
  Kita itu ribut, ya pastilah. Tapi dia bilang itu bukan ribut. Masih dengan muka keren kalem plus nada suara manis menggoda itu.
  Kebayang enggak sih lu, dia kalau ngomong sama gue nadanya tuh muanis bet. Sementara kalau sama bro-bro alias teman-temannya yah laki banget gitu.
 
  Nah, terungkaplah satu lagi sisi berbeda gue dan Nick. Gue itu spontan dan dia tertata. Salah satu mengapa kita sering berdebat. Bagaimana Nick berharap gue bakal bersama daftar tata rapi itu, sementara gue berharap dia untuk lebih spontan daripada terjebak sama sempurna daftar itu.

  Gue suka banget sama kedewasaan dia. Sementara gue kanak-kanak masihan. Lagi, alasan mengapa gue enggan untuk pergi tapi juga berat untuk tinggal. Takutnya, gue enggak bisa ngimbangin dia.

  Gue: You do have no sense of humor, huh?
  Nick: I do have mine.

  Atau pas momen ini,

  Gue: Gosh, you do realize we're having a fight right now?
  Nick: No. This isn't fight.
  Gue: Trus apaan dong?
  Nick: Diskusi. Mencari jawaban, hingga sama-sama setuju.
  Gue: ...

  Atau pas gue nyindir dia,

  Gue: Oh gosh, kamu itu cute banget sih.
  Nick: *ketawa* Thanks?
  Gue: *sighed* You know what, nevermind.
  Nick: Huh? Kenapa? Did I miss something?
  Gue: No.

  Atau pas gue berusaha becanda,
 
  Gue: Iya, siapa tahukan abis itu kamu bakal terkekeh trus kebawa tidur, sembunyi di dalam selimut.
  Nick: ...no.
  Gue: *krik-krik-krik


  Yap, gue baru aja menjadikan sosok Nick yang sempurna terdengar kaya asswhole. HA!
  Tapi sebodolah.

  Gue senang ketika dia ada, dan masih membayangkan kalau nanti kita jalan masing-masing. Enggak ada satu sama lain.
  Mungkin bakal minus ribut enggak jelas. Mungkin bakal minus krik-krik yang lebih enggak jelas. Mungkin bakal minus mendukung bidang yang bertolak belakang. Mungkin bakal minus segala rencana dia yang tertata rapi kaya rambut lurus dikasih vitamin sehabis di creambath trus disisir.

  Tapi untuk saat ini, gue masih bingung.
  Entah gue harus terus berjalan meski gue enggak yakin sampai kapan bakal jalan datar kaya gini. Atau haruskah gue berhenti dan mengikuti arah menuju jalan lainnya.

*


  You taste like a dream, that won't come true.
  I love it, and I hate it.
  Wish you'd be real, but we both know
  You're just too good.
  Too perfect.
  But here I am,
  Waiting for you
  To reach me out of blue.
  Because you're the land,
  and I'm the sky.
  All I can do is,
  watching over you.


      "So, what do think?" I asked as I put down my pen and paper. He smiled, "It's good. Really good."
  I laughed, "Inspired by you."
  I saw his cheeks turned red. But I felt the ache around my chest.
  That's when I realized, I want this man but also ...