The beginning of december, middle and end.
Thursday, December 26, 2013
Friday, December 20, 2013
Shadow
Aku terpana menyaksikanmu yang berada di atas panggung. Malam itu tidak begitu terang, tapi bisa kupastikan tatapanku malam ini hanya untukmu.
Kau dan bandmu turun dari panggung setelah membawakan tiga lagu. Vokalis bandmu merangkulmu sambil memuji penampilanmu beberapa menit yang lalu, aku bisa mendengar semuanya jelas karena kalian berlalu di dekatku.
Langkahmu terhenti, begitu juga dengan teman-temanmu. Kau berbalik, menatap lurus padaku, seolah-olah kau mengenaliku.
Aku tersenyum, tapi itu tidak akan mungkin.
"Lu liatin apa?" tanya Daus, vokalis bandmu.
Kau masih terdiam dengan tatapan yang mengarah padaku, "entahlah. Gue cuma berasa ada yang memperhatikan daritadi.."
"Jangan horor ah lu. Udah ah, gue duluan, nyusul anak-anak. Horor lu Jo!" Daus pun berjalan meninggalkanmu, membiarkanmu di sana yang masih menatap lurus padaku.
Aku tersenyum, seperti inikah kau, enam tahun yang lalu? Seperti inilah dirimu tiga bulan sebelum berkenalan denganku?
Sayang, hanya aku yang bisa berjalan kembali menyusuri waktu.
Kau berjalan perlahan, mendekat padaku. Kau terdiam. Jarak kita sudah tidak ada lagi. Aku menyandarkan kepalaku di dadamu dan melingkarkan kedua tanganku di pinggangmu.
Malam itu dingin. Yang kupeluk adalah kau, tapi kita tak pernah bersatu. Setidaknya, aku tahu itu, karena pelukanku tak pernah terbalaskan, sejak kau putuskan untuk membuatku sadar, aku hanyalah bayangan semu.
Monday, December 16, 2013
Saturday, December 14, 2013
Hey, You There...
Terjebak disatu kata yang terdiri dari lima huruf, tapi hanya perasaan sepihak itu...menyedihkan.
Rindu, apalagi karena kata ini menyimpan banyak kenangan dan rasa yang sama sedari dulu. Menurutmu, apa mustahil untuk menghapusnya dariku? Jika iya, seharusnya aku sudah bisa melakukannya dari kau pergi.
Ini bukan pertama kalinya aku mengaku rindu. Tapi ini pertama kalinya, aku terjebak untuk waktu yang sangat lama. Tidak adil, bukan?
Kau itu bukan orang yang romantis memang, sama sekali bukan.
Kau juga bukan orang yang terlalu peduli pada sekitarmu.
Kau juga memiliki ego yang terkadang membuatku geram setengah mati.
Kau juga bukan orang yang memiliki perasaan yang sama denganku, lagi.
Kau adalah orang yang berhasil membuatku jatuh bertekuk lutut hanya dengan senyumanmu, mata cokelatmu, rambut ikalmu yang lembut, genggaman erat tanganmu, pelukan hangatmu, dan kecupan mesra darimu. Meski tanpa kata, tapi itu cukup membuatku merindu. Rindu semua tentangmu, tentang kita, dulu.
Sekarang?
Aku ini siapa?
Aku hanyalah gadis yang menanggung rindu ini sendirian.
Aku hanyalah seorang gadis yang masih terpaku dengan cerita lama bertajuk kita,
dan aku hanyalah seorang gadis yang sudah tak lagi menghiasi hati dan harimu
Tuesday, November 26, 2013
Thursday, September 19, 2013
Friend in a Mask
Terdengar santai, terlihat akrab
Semua terasa sangat indah karena kita terus bersama
Sangat dan sangat, sampai aku benar-benar tidak ingin itu berakhir
Tapi, belakangan aku tahu semua
Apa kau merasakannya juga?
Apa kau menciumnya pula?
Wangi manis yang dulu kau tebar di sekitarku
Kini berubah entah seperti bau apa, yang menyengat ini
Kau di sana saat aku tertawa
Kau ikut menikmati juga ketika aku bersenang-senang
Lalu kemana kau, saat aku membutuhkan bantuanmu?
Ketika aku tertatih kala itu,
Aku melihatmu memamerkan senyuman palsu itu
Kemudian berjalan meninggalkan aku
Wednesday, September 4, 2013
First Met, S
Cowok yang memiliki tato yang sama di leher kiri dan telapak tangan kanannya. Burung merpati. Apa ada makna di balik itu? Entahlah, gue enggak yakin. Yang pastinya gue yakin, mata gue enggak bisa lepas memandangi dia. Sampai ketika gue tersentak karena mata kami bertemu. Gue yang tadinya sambilan minum soda gue, tersedak. Mana dua teman gue masih di toilet. Foto-foto kali. Biasalah, kebiasaan remaja menuju dewasa mah begitu, masih ababil di negara kita. Gue akui itu. Oke, balik lagi.
Gue meletakkan gelas gue dan ngambil tisu di tas. Buru-buru ngelap mulut kemudian celana gue yang tadi kena tumpahan soda. Perlahan tapi pasti, sambil ngelap celana gue berusaha melirik cowok tadi. Gue bersyukur begitu datang ke kafe ini, gue gerai rambut. Soalnya dari di mobil temen gue tadi, gue cepolan mulu. Jadinya gue bisa mengintip di balik rambut kalau begini. Gue lirik, lirik dan DANG! He's gone. Gue kaget. Berhenti melap celana gue dan mengangkat kepala gue, memastikan. Yup, cowok itu udah enggak duduk di sana lagi. Teman-temannya masih di sana. Tapi hanya beberapa.
Rasa kecewa menyelubungi gue, mungkin cowok tadi sudah cabut sama salah satu temannya. Sial. Gue mendengar langkah kaki, "Lama ama..t...sih..." DANG! Waktu gue berbalik yang gue dapati bukan dua teman gue tapi cowok tadi dengan temannya sedang berjalan nyaris melewati bangku gue. Mereka masing-masing membawa gelas minuman. Mereka terdiam di posisi. Damn, damn, damn! Gue ngegigit bibir bawah gue, enggak berani memalingkan wajah dan terus menatap mereka dengan tatapan "mampus gue-mampus gue" gitu.
Temen cowok itu ngelirik cowok itu, seolah tatapannya bilang "ini orang ngomong ke kita? kita kenal emang?" dan semuanya terjadi begitu cepat. Gue langsung berdiri dan bilang, "Maaf mas, maaf. Saya kira teman saya?"
"Lu kenapa?' DANG! Dua temen gue muncul dari belakang dan penampilan mereka jauuuuhhhh lebih rapi plus wangi dari sebelumnya. Abis nyalon kayaknya tuh makhluk berdua di toilet. Teman-teman gue langsung menghampiri gue dan berdiri di sebelah gue. Kayak bodyguard gitu. "Ini ada apa ya?" tanya salah seorang teman gue yang ceritanya enggan disebut namanya. Berasa kayak berita kriminal.
"Kayaknya cuma ada salah paham aja ini." Temen cowok itu tersenyum sok ramah, menurut gue. Atau memang dia sebenarnya, ramah? Entahlah. "Kalau gitu, kami pergi dulu. Permisi." Dia menarik lengan cowok itu. Ketika mereka jalan tepat di depan gue, cowok itu berhenti. Gilak broh, gue yang udah pakai wedges dua belas senti aja dan berdiri gini masih sedadanya doi! Tinggi bet dah. Cakep pula lagi, meski jarak tiga puluan senti begini.
Cowok itu menatap gue dengan tatapan pasti, "Daritadi lu liatin gue, kan?"
DANG BRO, DANG!!! Sekejap suasana hening. Sebenarnya masih ada tawa dan suara bincang-bincang para pengunjung kafe, bahkan suara musik juga ada. Sayangnya, gue langsung membatu dan enggak ngedengerin suara apa pun.
Dia ngedapetin gue ngeliatin dia daritadi dong berarti! Trus pasti dia ngira gue penguntit abis. Udah dah, udah. Rasanya saat itu gue berasa di...
"Atau gue yang kegeeran?" kemudian cowok itu berkata lagi, membuat temannya tertawa lalu jalan mendahuluinya. Juga membuat gue tersadar. Gue enggak salah dengar, kan? Cowok itu tersenyum pada gue, "Gue becanda kok." katanya sebelum dia berjalan melewati gue dan teman gue menuju ke bangkunya, dan gue rasa temannya yang tadi langsung cerita karena sesekali mereka melihat ke arah meja gue.
Dua teman gue langsung introgasi gue untuk menceritakan kronologi kejadian yang sebenarnya, seolah tidak mau kalah dengan meja yang sudah ramai dengan tertawa di ujung sana. Tapi waktu gue bercerita untuk kedua teman gue, gue mencuri pandang pada cowok itu. Dan hampir seperti dugaan gue, dia memang melihat ke arah gue. Sambil minum minumannya, disela-sela senyuman manisnya untuk gue. Dengan kaku, gue bales senyuman itu.
Saturday, August 31, 2013
Time Capsul
Saturday, August 17, 2013
Apak
Pada masa itu, wanita mana yang tidak jatuh kedalam pelukannya? Sayangnya, ketika dia menjatuhkan hatinya pada seorang wanita, wanita itu tidak ingin menangkapnya. Bisa kubayangkan hancur hatinya kala itu. Butuh waktu yang lama baginya untuk siap menjatuhkan hatinya lagi.
Begitu hatinya menjatuhkan pilihan pada seorang gadis yang berbeda suku dan agama dengannya, banyak tentangan yang didapatnya, meski mereka saling mencintai sekali pun. Bahkan dari ibunya sendiri. Jelas, dengan berat namun patuh, dia memilih ibunya. Mungkin itu akhirnya mengapa dia memilih untuk menjalani hidupnya tanpa memiliki siapa pun menjadi pasangannya.
Perlahan, waktu mulai merengut tubuh tinggi tegapnya, kulit putih bersihnya dan sinar dari bola mata kecoklatan itu. Yang mulai kukenal senyuman ramah, suara yang memanggil akrab para keponakan yang bertumbuh di sekitarnya, bahkan sifat isengnya. Bagaimana dia mengajarkanku tentang lingkungan di sekitarku, usiaku kala itu empat atau lima tahun, aku ingat itu. Bagaimana dia memarahi adik-adiknya, yang adalah orang tua kami, ketika mereka mulai bersikap berlebihan mengatasi kami, para ponakannya. Bagaimana dia bersikeras tidak ingin dipanggil Paman, melainkan Apak, yang artinya Ayah dalam bahasa daerahku. Bahkan dia tidak akan menghiraukan kami ponakannya jika kami iseng memanggilnya dengan sebutan Paman.
Aku masih ingat bagaimana masa ceria itu kita lewati, dan memang sangat cepat. Secepat dia merasa kesepian ketika ponakannya tidak lagi bertumbuh di sekitarnya. Masa remaja merebut kami dari sisinya. Kami tak lagi sering bermain ke sana, rumah nenek. Ya, dia tinggal bersama nenek. Seolah-olah nenek tidak ingin kehilangannya setelah kecelakaan yang pernah nyaris mengundang malaikat maut menjemput anak laki-laki pertamanya itu dari sisinya.
Apak menyibukkan dirinya dengan teman-temannya di kedai kopi. Sekedar bercerita masa lalu di sana, atau mengisi waktu kosongnya yang tidak lagi seramai ketika ponakannya berlari ke sana kemari. Makanya, saat aku pernah berkunjung ke rumah nenek, aku tidak bisa bertemu dengan Apak. Ketika aku pergi, mereka bilang Apak kembali.
Tak hanya sampai di situ. Setelah melewati masa remaja, ponakannya terus bertumbuh menjadi dewasa. Ada yang meninggalkan kampung halaman untuk merantau dan ada pula yang membangun rumah tangga membentuk sebuah keluarga. Waktu benar-benar merebut semuanya dari sisinya. Bahkan kesehatan nenek yang membuat nenek harus di rawat di rumah sakit atau di rumah anak bungsunya, agar dia benar-benar diperhatikan pola hidupnya. Apak pasti sangat merasa kesepian.
Rumah itu, terakhir kali aku mengunjunginya, sudah tidak hidup seperti dulu lagi. Rumah itu kini dingin, sangat dingin. Tidak ada lagi tawa ceria, tangisan manja, keisengan, tidak ada lagi yang terasa hidup di sana. Terlebih lagi, karena Apak tidak lagi ada. Ketika Tuhan memutuskan untuk memanggilnya kembali, menyusul kepergian nenek setahun yang lalu dan sepupuku awal tahun ini. Semoga di sana, Apak berkumpul bersama anggota keluarga lainnya, tidak lagi merasa kesepian.
Rest in peace, Apak. You'll forever stay in our memories. Never be forgotten.
23 November 1960 - 10 August 2013
Dear someone
Aku merindukannya sebanyak aku menyebutkan namanya dalam ceritaku. Seperti huruf vokal di setiap kata. Seperti tanda baca di setiap kalimat. Seperti itulah kenyataannya.
Aku merindukannya. Meski rindu ini sakit, meski rindu ini menyepi, meski rindu ini hanya milikku sendiri, aku tetap merindukannya.
Tidak, dia tidak jahat. Hanya saja, dia terlalu baik untuk membalas rinduku. Rindu yang seharusnya tidak perlu kuberikan cuma-cuma untuknya. Rindu yang seharusnya ada ketika dulu saja, bukannya rindu yang terus kubawa sampai saat ini.
Ah, sudahlah. Terlalu bohong jika membiarkan waktu yang menghapus atau membalas rindu ini.
Buatmu, ya memang kamu, selain kamu tidak ada orang yang membuatku merindu sampai seperti ini.
Wednesday, August 7, 2013
Friday, June 21, 2013
Dandelion
![]() |
Dandelion |
Katanya, dandelion hanyalah tumbuhan liar. Tapi bagiku, mereka itu ibarat pesan dan angin sebagai pengantarnya. Mereka bukan sekedar 'hanyalah tumbuhan liar'.
Apa kau percaya, sewaktu kecil aku sering mendapat dandelion. Membiarkannya terbang mendekat dan datang padaku. Entah itu di tanganku atau di bahuku.
Lalu pesan apakah yang dibawanya bersama angin?
Pesan apa pun. Pesan yang mungkin dibisikkan padanya oleh seseorang sebelum dia dihembuskan atau mungkin pesan yang terselip saat angin membawanya terbang melalui beberapa tempat.
Lalu jika dia terhempas?
Meski dia terhempas sekali pun, asalkan kau percaya, pesan itu pasti akan tersampaikan.
Oh ya, apa kau perrnah mendengar hal ini sebelumnya? Dandelion, pembawa pesan.
Aku belum pernah mendengarnya, tapi mungkin aku pernah merasakannya.
Benarkah?
Jika kau ingin menyampaikan pesanmu melalui dandelion, sebelum menghembuskannya bersama angin, kau bisikkan pesanmu atau kau bisa berkata padanya dari dalam hatimu. Katakan apa yang ingin kau titipkan bersamanya.
Lalu, jika kau menyadari ada dandelion yang terbang ringan mengarah padamu, terlebih lagi ketika kau menangkapnya, coba kau rasakan pesan apa yang ada di sana, dengan hatimu.
Kalau begitu, bolehkah aku mengirimkan pesan itu, sekarang?
Boleh. Pesan apa yang ingin kau kirim melalui dandelion?
Aku ingin mengirim pesan kepada matahari, apakah hujan masih sering menganggunya?
Aku rindu matahariku.
![]() |
my message |
Monday, June 10, 2013
Wind
Cinta itu seperti angin di musim hujan. Terus dan terus. Berhembus beriringan dengan dinginnya air hujan, menusuk masuk ke kulit bahkan ke tulang. Membuat tubuh menggigil, takluk dengannya. Berharap dia segera hilang dan begitu saja.
Ya, bagiku cinta itu seperti angin. Mereka bisa datang dan pergi. Atau bahkan tinggal untuk waktu yang lama jika memang begitu keadaannya. Mau aku memintanya, mengharapkannya atau pun sebaliknya. Mereka juga bisa biasa saja atau semakin menjadi angin yang besar dan kuat, bisa menghancurkan siapa saja yang mendekat pada mereka.
Jika cinta itu angin, maka kau tahu kan, perasaanku angin yang seperti apa kepadamu?
Jika perasaanku ini angin, lalu apa perasaanmu?
Sunday, June 9, 2013
I Don't Wanna A Goodbye
Setelah itu, aku membiasakan diri untuk menyapanya atau sekedar tertawa kecil untuknya. Dia punya senyum lebar yang hangat, membuatku ingin senyum itu terus ada di sana, untukku. Aku ingat, bagaimana kesalnya dia saat lomba matematika waktu itu. Dia terus mendumal keki, sementara aku tersenyum geli menikmati komentarnya sambil menggambar kertas soalku. Gadis ini semakin menarik.
Aku tidak tahu apa yang merasukiku. Mengajaknya untuk bertemu di hallway setiap hari selasa, karena aku tahu diwaktu yang sama dia tidak ada pelajaran. Ya, sekedar untuk bertemu dengannya. Sekedar untuk memperlihatkan padanya senyuman manis yang aku bisa. Aku ingin dia melihat jauh kedalam sepasang bola mata biruku, aku benar-benar tertarik padanya.
Hari itu, sebenarnya hari terburukku di sekolah. Maksudku, moodku. Melihatnya berada di parkiran, membuatku yang baru saja memasuki mobil keluar dan dia sedikit kaget mendapatiku. Dia tersenyum sebentar. Aku tidak bisa menahan diriku sendiri untuk tidak memeluknya! Dia hanya diam di pelukanku. Meski pelukan itu hanya sebentar saja, tapi aku bisa merasakan panas yang dikirimkan dentuman cepat dari jantungku ke seluruh tubuh. Apa wajahku memerah? Apa aku...
Aku melihat ke arahnya, dia menundukkan kepala. Tapi dari balik rambut hitamnya, aku tahu sesuatu. Wajahnya memerah. Bolehkah aku sedikit saja bahagia?
Rasanya menjadi dekat dengannya waktu terasa begitu cepat berlalu. Hari ini, aku menerima undangan darinya. Acara perpisahan. Damn! Haruskah perpisahan ini ada? Kenapa aku harus bertemu dan dekat jika akhirnya aku dengannya akan berpisah?!
Aku menendangi dinding kamarku. Tanpa memperdulikan pertanyaan dari ibuku di balik pintu kamarku. Aku kesal. Aku sedih. Aku tidak ingin berpisah dengannya. Apa aku salah?! Apa ini semua salah?!!
Kupandangi pantulanku di cermin. Aku benar-benar terlihat menyedihkan. Rambut pirangku terlihat berantakan. Mataku seperti tidak ada sinar kehidupan. Siapa orang ini? Kenapa aku seperti ini? Aku menertawai diriku dalam hati. Aku tidak mengenali orang di cermin ini.
Aku memakai kaos hitam dan celana jeans biru. Ah, tidak. Ini terlalu biasa. Aku mengambil jaket kulit bewarna coklat. Memakainya dan...ini terlihat seperti i-am-hollywood-star-wanna-be. Aku menghela nafas. Melepaskan jaket dan kaos. Sebuah kemeja kotak-kotak yang tergantung sedikit terpisah dari pakaianku yang lainnya di lemari, menarik perhatianku.
Ini dia. Aku berada di rumahnya. Sudah ada beberapa teman rupanya, yang kukenal. Dia menyambutku dengan senyuman. Boleh aku besar kepala, sedikit? Dia terlihat terpana denganku. Kurasa aku akan memeluknya jika saja hanya kami berdua di sana. Mungkin juga, aku tidak akan melepaskannya.
Waktu terus berjalan. Aku tidak bisa membiarkan diriku lama dalam perpisahan ini. Aku sedikit bersyukur ibu memintaku pulang lebih cepat karena aku harus menemaninya untuk pertemuan keluarga. Selebihnya, aku merasa menyesal, karena akulah yang harus berpisah duluan darinya.
Aku menggenggam jemari mungilnya. Matanya yang sedari tadi mulai berkaca-kaca akhirnya terpecah juga. Dia menangis. Dia menatapku seolah seperti memintaku untuk tidak meninggalkannya. 'Hey, sadarkah kau siapa yang akan meninggalkan siapa?' setidaknya aku membalas tatapannya seperti itu. Tapi...aku tidak bisa menahan diriku untuk tidak menariknya ke dalam pelukanku. Memeluknya dengan sangat erat. Menenggelamkan kepalanya di dadaku. Membiarkan dia mencium wangi tubuhku. Membiarkan dia menangis tanpa melihatku. Aku hanya tidak ingin melepaskannya. Tidak dan tidak.
'Aku, yakin. Kau pun, begitu.'
Saturday, June 8, 2013
A Letter To Heaven
Nek, masih ingat kejadian di Cibubur? Ketika kau menyanyikan sebuah lagu, katamu lagu itu lagu yang harus dinyanyikan saat perjalanan menuju sawah ketika penjajahan Jepang dan aku merekamnya dengan ponselku. Aku masih ingat tawa kesal dan malu-malu darimu saat kuperlihatkan hasil rekaman itu pada keluarga besar. Kau mengomeliku, tapi aku tertawa. Ya, itu hanya omelan karena kejahilanku, seperti biasanya.
Nek, apa kau ingat, saat kita berdua berada di rumahmu. Semua terasa kosong. Hanya kita berdua di ruang tamu dan kau menatap langit malam yang hitam dengan tatapan kosong, pula. Kau menyanyikan lagu yang membuatku sedikit sedih. "Saya mau ikut Yesus." Kau tau, aku belum siap kehilanganmu, sejak saat kau menyanyikan lagu sedih itu.
Nek, apa kau juga masih ingat, saat aku bediri di sebelahmu. Aku terlihat bahagia dengan pertumbuhanku. Ya, seiring waktu berjalan, tinggiku semakin melewatimu. Aku ingat sekali, bagaimana aku meledek dirimu yang hanya beberapa senti di bawahku. Nek, maafkan aku, aku memang terlalu jahil dan nakal padamu.
Waktu terus berlalu, kesehatanmu menurun. Aku benci harus menghadapi masa-masa itu. Masa dimana aku harus menggenggam tanganmu yang dingin. Menatap kau yang tak berdaya di atas tempat tidur. Kemana sosokmu yang biasa kutemani tidur? Kemana sosokmu yang tertawa saat aku membual dan melakukan kejahilan demi kejahilan? Kenapa sosok lemah itu yang harus kusaksikan?
Maafkan aku nek, saat kau keluar masuk ruang unit gawat darurat, aku tidak memperlihatkan batang hidungku. Itu karena aku takut. Aku takut, aku terlalu pecundang untuk ruangan kecil namun mengerikan itu. Aku benci ruangan itu.
Kau masih suka buah kelengkeng kan, nek? Aku pun masih membencinya. Kau tahu, itu semua karena dirimu. Coba saja waktu itu kau tidak melahap buah kecil yang nyaris menyerupai buah duku itu, di depanku dan memaksaku mencobanya, mungkin aku biasa saja dengan buah itu. Tapi kini, mencium bau buah itu saja aku tidak kuat. Buah itu, selalu mengingatkanku akan dirimu, nek.
Aku juga ingat saat awal aku berada di kota ini dan kudengar kabar jika kau masuk rumah sakit lagi. Jantung koroner. Penyakit mematikan itu bersarang di tubuhmu entah sejak kapan. Itulah yang menjadi alasanmu terus menerus ke rumah sakit karena kondisimu yang kadang baik dan kadang buruk bahkan sangat buruk.
Pagi itu, aku membuka website, pengumuman kelulusan ujian tertulis masuk universitas, aku lulus. Aku segera menelpon memberi kabar. Ternyata, setelah mendengar kabar itu, kau membaik. Kau bilang, itu kabar baik yang membuatmu ikut merasa baik dan sehat serta cukup kuat untuk keluar dari rumah sakit. Bahkan dokter yang memeriksamu, mengakui itu. Kau tahu nek, seberapa bahagianya aku mendengar itu?
Aku juga masih ingat permintaan konyolmu, ketika aku masih duduk di bangku sma. Kau memintaku untuk menikah. Waktu itu aku hanya tertawa dan berkata kalau kau hanya mengada-ada. Tapi sebenarnya aku sedih, karena kau selalu mengingatkan usiamu tak lagi panjang. Tidak kah kau penasaran siapa yang akan menikahiku nanti, nek?
Aku juga masih ingat dengan jelas, suaramu dari seberang. Itu terakhir kalinya aku mendengar kau dengan suara khasmu memanggilku dengan sebutan 'sayang'. Siang menjelang sore itu, aku sedang berada di kamar teman kosku. Kau menelponmu. Tumben sekali. Kau bilang, kau merindukanku. Aku hanya tersenyum dan berkata hal yang sama. Kau menasehatiku, seolah-olah memang itu waktu terakhirmu. Aku benci itu. Aku dengan santainya berkata 'ya nek, ya nek' dan 'ya nek' tidak terlalu menghiraukan ucapanmu. Aku bodoh ya, nek.
Tepat hanya seminggu setelah itu, aku mendapat kabar kau masuk rumah sakit lagi. Kali ini, kondisimu benar-benar memburuk. Malam itu. Aku mendengar kabar, kau telah pergi untuk selamanya. Selamanya dan tidak akan pernah kembali lagi meski aku berteriak memanggilmu dalam tangisku, berteriak memanggilmu dengan suaraku yang terisak-isak. Kau tidak akan pernah kembali lagi.
Nek, kau adalah sosok yang aku kagumi, sayangi dan tidak akan pernah bisa lepas dari kehidupanku. Terima kasih untuk pelukan hangat yang kau berikan. Terima kasih untuk senyuman, tawa, ocehan, canda, dan semua emosi yang pernah terluapkan. Terima kasih untuk segala hadiah yang kau berikan. Terima kasih atas waktu hidupmu yang telah ada untuk mengisi hari demi hari sejak aku belum mengenal dunia dengan jelas hingga menemani aku bertumbuh dan beranjak dewasa.
"When will i see you again, grandma? You don't know how much i miss you. Grandma, i love you."
Wednesday, June 5, 2013
A Lil Family
Sunday, June 2, 2013
Busy
Gue berusaha melakukan yang gue bisa meski gue dicap bego ato bodoh karena gue enggak ingin temen gue ngerasa apa itu sendiri ato susah dan butuh bantuan. Giliran gue? Kenapa selalu timingnya enggak pernah benar. Kenapa harus gue?
Ah, sial. Gue terdengar mulai bete dan bosan hidup sepertinya. But, menulis apa yang ada dipikiran gue hampir sama dengan gue curhat. Meski gue enggak tau siapa yang baca tulisan gue ini.
Gue kangen kehangatan keluarga gue yang entah sejak kapan enggak sehangat yang dulu. Gue kangen para sahabat gue yang semuanya berjauhan tapi entah kenapa kini perlahan juga mulai terasa jauh. Gue kangen hangout bareng teman-teman gue yang juga mulai terpecah sana sini. Gue kangen gue kangen gue kangen dan gue rasa cuma gue yang merasakan hal ini.
Gue masih gadis kecil yang kesepian. Sedih banget. Gue enggak butuh banyak orang. Cukup satu aja. Satu aja yang bisa selalu ada untuk gue. Satu yang mengerti gue, care sama gue, menggenggam tangan gue saat gue menangis, memeluk gue saat gue merasa sendiri, bercerita dan entahlah siapa itu.
Gue benci orang sibuk. Gue benci orang cuek. Gue benci orang yang menganggap remeh, gue benci. Gue benci diri gue berada di kota ini. Mungkin, sudah waktunya buat gue, mencari jalan keluar dari kota ini, lagi. Yeah, gagal dua kali untuk meninggalkan kota ini selamanya*mungkin dan gue berharap begitu* bukan menjadi penghenti gue untuk mencoba lagi.
Friday, May 31, 2013
Thursday, May 30, 2013
The Last Day Of M(a)y
Benar-benar masa-masa sulit telah gue lewati. Masa-masa itu mengajarkan gue untuk berpikir lebih matang lagi. Membuat gue merasa lebih kuat, lebih tegar dan entahlah, ada sesuatu yang berubah dari dalam diri gue.
Gue bersyukur, gue sudah melewati itu semua. Gue tahu, apa yang gue miliki dan bukan milik gue. Gue sadar, siapa yang datang dan pergi atau pun mereka yang memutuskan untuk tinggal di sisi gue. Gue merasa jauh lebih baik saat ini. Jauh lebih baik.
Bulan Mei adalah bulan favorit gue dari kecil. Ada sesuatu selain tanggal kelahiran gue di sana. Ada sesuatu yang membuat gue menyukai bulan Mei.
Meski pun, ini tahun ketiga gue merayakan hari jadi tanpa keluarga dan sahabat gue dari kampung halaman, tapi gue bersyukur atas doa-doa dan harapan dari segelintir orang yang mengingat dan mengucapkannya untuk gue. Bahkan gue mendapat banyak kejutan di hari gue genap 20 tahun. Gue sangat bersyukur untuk itu.
Sayangnya, Mei tahun ini akan berakhir. Berganti dengan bulan lain. Berganti dan akan dinanti untuk waktu yang datang. Harapan gue untuk Mei yang akan datang: Semoga gue masih bisa menjalani hari-hari dengan orang yang gue sayang dan mereka yang sayang pada gue. Terlalu simple ya? Hehehe, gue emang enggak mau muluk-muluk. Gue hanya ingin semuanya berjalan dengan simple tapi berarti, karena itulah karakter yang gue inginkan ada dalam diri gue.
Buat semuanya yang sudah berada di sisi gue selama ini, gue berterima kasih. Terima kasih karena masih mau bertahan, menerima gue yang hanya seperti ini adanya. Dan buat mereka yang tidak lagi ada di sisi gue, tidak apa-apa, setidaknya kalian sudah pernah ada. Terima kasih.
Have a nice last day in MAY!!!
Sunday, May 12, 2013
"Hey"
Satu kata sapaan,
Satu kata tuk sebuah permulaan
Satu kata itu cukup membuatku tertegun, terdiam, sedikit kaget namun ada rasa menggelitik untuk tersenyum...
Andai saja, dia bisa menyebutkannya langsung dengan suaranya di depanku...
Him : Hey
Me : Hey juga
Him : miss aneh lagi apa nih?
Me : stop calling me miss aneh >.<
Him : ga mau, abisnya lucu sih, aneh hahaha
lucu?
Me : yayaya serahmulah bos
Him : idih, ngambek?
Me : menurutmu?
Him : ...iya?
Me : tuh, tau.
Him : kan becanda doang
rasanya geli mengerjainya seperti ini
Him : ko diem? beneran marah ya?
Him : Hey
Me : heeemmm?
Him : iya deh iya, engga lagi deh
Thursday, May 2, 2013
May
May, thank you, you're coming...again... Thank you...
Monday, April 29, 2013
A Question
"Setiap orang pantas mendapatkan kesempatan dan semua orang berhak belajar dari kisah yang dialami sebelumnya."
"Lalu? Itu artinya iya atau engga?"
"Menurutmu?"
"Bisa iya, bisa juga engga."
"Ha-ha-ha, ya sudahlah.."
"Hey~ Jadi itu artinya iya atau engga?"
"Hemm...gimana ya, pemikiran setiap orang itu berbeda jadi terserah kau menangkapnya seperti apa."
"...apa nanti yang dipikiranku akan sama dengan jawaban yang ada padamu?"
"Hm? Entahlah, kan pemikiranku denganmu bisa saja berbeda. Toh, kita saja beda kepala gini. HA-ha-ha"
Monday, April 22, 2013
You
Mungkin, pemikiranmu sama dengan yang lainnya. Mengira aku ini jutek dan cuek ditambah dingin karena hanya berbicara seadanya, menjawab satu kata dan tidak memperhatikanmu. Sekali lagi, itu karena aku malu! Aku deg-degan. Kau, kaulah penyebabnya!
Terlebih lagi saat jemarimu yang panjang menyentuh telapak tanganku ketika membicarakan topik kita waktu itu. Musisi, jemari khas musisi, indah, kau tahu itu? Saat aku mengangkat kepalaku dan melihat wajahmu, bulu mata yang lentik. Meski ruangan sedikit gelap, aku juga terpana pada bola matamu yang indah dan hanya menatapku saja. Aku tidak ingin pergi jauh darimu dan aku pun ingin kau begitu.
Mungkin, kau juga merasakan hal yang sama. Meski kau pergi, kau datang kembali. Duduk di sebelahku. Hanya di sebelahku.
Aku tidak geer kan? Kau memang pintar mencuri perhatianku, tepat saat kau mencuri hatiku. Kau pintar. Kau, hanya kau.
Saturday, April 20, 2013
Every Story Has Their Own Ending
Awalnya sedih, hancur, marah, tapi kalau dipikir lagi, memang setiap awal akan ada akhir, sama seperti akhir yang menjadi sebuah awal. Dunia itu bulat, berputar. Intinya, gue memang harus mengalami semuanya ini.
Jujur, ketika kata 'end' menghampiri cerita gue itu, gue drop abis. Nyaris enggak mengenali diri gue sendiri dan enggak sadar ato pun peduli dengan apa pun di sekitar gue. Lebay mungkin lu bilang, tapi itu kenyataan.
Bagaimana gue bisa bangkit lagi? Gue sadar juga, buat apa gue harus lama-lama menjadi kacau? Memangnya kisah itu akan berputar balik lagi? Enggak! Dunia berputar satu arah, berputar seiringnya waktu. Harusnya gue bersyukur karena cerita itu sudah usai. Karena gue sama sekali tidak mengenal tokoh yang berada di sana. Tokoh yang dulu, sudah lama mati. Itu saja. Bodohnya, gue baru menyadari itu.
Harusnya, setelah tokoh yang gue suka itu sudah lama mati, enggak ada lagi di cerita, sayangnya gue benar-benar bodoh enggak menyadari semuanya. Gue terlalu asyik memperhatikan dan memahami satu sisi cerita itu. Sampai akhirnya, tokoh baru itu muncul dan cerita gue berubah. Tokoh itu sangat mempengaruhi cerita itu. Tokoh itu dan semuanya yang menyangkut tokoh itu.
Haruskah tokoh lama yang gue suka itu mati dan pergi? Apa dia tak sadar gue selalu berharap dia kembali? Tapi, sayang, teriakan tangis gue tak terdengar olehnya. Dia benar-benar sudah mati. Tidak ada lagi. Hilang. Selesai. Tamat. Itu saja.
Tapi tenang, tokoh itu masih hidup kok di buku kenangan gue. Tokoh yang hidup semenjak oktober 2012 dan mati bulan januari 2013. Lalu berubah menjadi tokoh baru yang gue enggak kenal dan akhirnya pergi, memilih mengakhiri cerita itu.
Mungkin hanya tokoh yang lama yang akan terus hidup meski dia sudah lama mati tapi sakitnya yang ditorehkan oleh tokoh baru, juga akan selalu hidup, selalu hidup untuk menjadi pembelajaran gue di cerita gue berikutnya. Dengan kisah baru dan mungkin (wajib sih ini!) dengan tokoh baru. Cerita yang lebih baik dan tokoh yang jauh lebih baik.
Sekali lagi, dunia berputar. Cerita yang gue alamin bisa saja terjadi di elu, jangan takut, hadapi aja. Toh, ini bisa mengajar elu untuk lebih kuat lagi. Itu aja, terima kasih ya udah mampir
God bless you~!!
Tuesday, April 16, 2013
alphabet
"what? did i spell it wrong? i guess no, because i did missing U" :')
Saturday, April 13, 2013
Just, If....
Sebenarnya, gue kalo udah nangis, berarti itu adalah titik lemah gue banget. Gue heran, kenapa gue harus menangis seseorang yang enggak pernah menangisi gue. Kenapa gue harus memikirkan orang yang udah enggak peduli sama gue. Kenapa gue harus masih tetap mempertahankan perasaan gue ke orang yang udah enggak sayang sama gue. Kenapa?
Seandainya aja, tanggapan dari sahabat-sahabat gue ini adalah ucapan yang gue denger dari dia...
Jow : Heran gue sama lu, nyuk. Jarang loh ada cewek kaya lu. Biasanya tuh ya, cewek kalo udah dicuekin gini sama cowoknya, biasanya ngebales cuek ato bahkan marah ato bahkan malah ninggalin cowok itu. Lah, elu, malah mencari dia. Pengen ketemu sama dia dan bahkan ini malah nungguin dia. Ck-ck-ck salut gue sama lu.
Wiwdyw : Udah, jangan nangis lagi. Gue heran, lu enggak bisa nyebutin satu aja yang udah dia kasih buat elu, kenapa elu tetap bertahanin dia? Meski gue enggak tau apa yang ada dipikiran dia, sampe tega buat elu kaya gini.
Sasuke : Gue kira, adegan beginian cuma ada di sinetron, enggak nyangka gue temen gue malah ngalaminnya. Udah, santai aja, cowok enggak apa-apa nangis he-he-he.
Seandainya dia ada waktu gue bilang "i need you.." mungkin gue enggak perlu curhat sama Wiwdyw masalah yang menjadi beban pikiran gue. Gue cuma berharap dia ada saat gue butuh dia, sama kayak gue yang selalu berusaha ada saat dia butuh atau pun engga butuh gue.
Seandainya aja dia bisa ungkapin uneg-unegnya ke gue sama kayak Jow yang blak-blakan ngehakimin gue seandainya gue salah ato bahkan nasehatin gue.
Seandainya aja, malam itu yang merangkul gue saat menangis bukan Sasuke, meski dia adalah penyebab gue menangis.
See, tetap saja, meski siapa pun yang ada di sekitar gue, gue masih berharapnya dia. Bahkan saat gue jalan sama temen-temen cewek gue, gue berharapnya gue bertemu dengan dia. Memperkenalkan dia kesemua temen gue, jadi enggak adalagi salah paham ato apalah.
Seandainya aja, dia ngerti apa yang gue rasain sekarang. Seandainya aja dia beneran ada. Seandainya aja....
Another Satnight
Pikiran gue melayang lagi. Sial. Gue benci mengharapkan sesuatu yang ga terjadi. Gue benci imaijnatif. Kalau di saat-saat seperti ini.
Gue jadi inget, dulu. HA-HA, dulu...kayaknya miris banget ngetik d-u-l-u. Yeaup, itulah kenyataannya. Mungkin gue masih ngefek kegalau kali ya. Heran, padahal ini cerah. Malam ini enggak hujan kayak biasanya. Mana sialnya lagi, gue malah berharap ada dia. Sama seperti dulu.
Motor Honda CB100nya, senyuman itu, kecupan hangat di kening gue, bahkan pelukan. Ah! Sudahlah. Mana gue beneran sendiri di sini. Di kamar gue, diiringi lagu galau meski berbahasa korea.
Bisa enggak sih, satnight kali ini gue enggak sendirian lagi? Gue sama temen-temen gue juga enggak apa-apa. Tapi enggak berharap dan enggak memikirkan seseorang yang membuat gue galau.
Rasanya sedih, nyiksa diri sendiri. Menyayangi seseorang yang mungkin udah benar-benar enggak sayang sama diri ini. Masih inget gue, dialog by phone sekitar satnight dua ato tiga minggu yang lalu.
"Jadi sebenernya, gimana perasaan kamu ke aku sekarang?" tanya gue, lirih.
"Flat." jawabnya, datar.
"Maksud kamu?"
"Ya..biasa aja, datar aja."
"Udah enggak sayang lagi sama aku?"
"Ya, enggak bisa dibilang gitu juga sih.."
Dan gue ngerasa ngilu dalam hati gue.
Gue masih bertanya-tanya, gue buat salah apa sih, sampe gue harus ngalamin hal kayak gini?
Gue cewek woy, gue manusia! Gue punya perasaan juga...gue juga pengen disayang, dimanja, dihargain, dianggep...ah, sudahlah.
Mungkin, gue bawa helm ke kota ini juga percuma. Padahal niat gue, biar enggak riweh lagi kalo mau jalan sama dia. Maklumlah, dulu helm gue yang dari abang sepupu gue, dipinjem-pinjem eh malah berakhir hilang entah kemana.
Satnight ini mungkin gue lebih ke berusaha nenangin diri gue lagi. Sepertinya pikiran dan hati gue kini udah satu suara untuk dia. Ck-ck-ck mereka bodoh. Lebih memilih menjadi gila dan sakit.
Monday, March 4, 2013
Our First Satnight
Stupidious
Si cowok ngaku ga jeles, ceweknya yang tomboy mampus twitan ama tementemen cowonya. Nyatanya? Uring-uringan dan ngebandingin setiap twitnya si cewe dengan twit ke dia, kenapa sama dan ga ada beda dengan twit cewenya ke temen-temen cowonya?!
Si cewek ngegalau mampus, karena cowonya yang keren ngebales twit tementemen cewenya. Kemudian? Nangis-nangis di kamar karena ngebandingin twit cowonya ga ada beda ke dianya, bahkan si cowonya terkesan lebih ngebales tementemennya di banding dia.
Jadilah, titik api yang muncul karena kebodohan kedua pihak.
Engga itu aja, bisa aja alasan komunikasi yang ngerusak suasana.
Lama enggak ketemu, si cewe nelponin cowonya. Engga diangkat-angkat. Si cewe udah galau lagi noh, janganjangan cowonya udah lupain dia, kenyataannya? Si cowo lagi sibuk ngurusin kerjaan buat pundi-pundi masa depan.
Begitu komunikasi lancar, operator jeles, sinyal meles, ngenes. Ribut salah paham lagi.
See? Bego banget kan ya?
Nanti yang satunya ngambek, yang satunya care malah ngerasa dicuekin. Begitu yang ngambek udah kelar ngambeknya, yang care tadi malah ngambek. Begitu terus kapan masalahnya kelar?
Sebenernya, stupidious itu nurut kamus besar gue, ya momen yang emang bodoh banget, absurd banget, gak jelas banget, dan rada enggak penting banget.
Heran kenapa gue bisa berpikir begini, padahal sebenernya gue enggak begitu ngerti ya sama jalan pikiran gue ini. Nah, loh, bingung kan lu bacanya? Maksud gue gimana ato jangan-jangan lu udah ngucapin "gaje lu fan!" ah, sebodo. Topik-topik gue, blog-blog gue, mata-mata elu. HUBUNGANNYA APA KAMFURETOOO*alias kampret*?!!!
Intinya, kebodohan itu harusnya disingkirkan, kalo aja lu bisa benerbener saling percaya. Saling percaya, hem..dari mana rasa percaya itu bisa muncul? Dari keterbukaan lu satu sama lain. Simple kan? Kalo lu saling kebuka, enggak ada yang ditutupi, pasti deh dan percaya itu ada, semakin ada, saling bahkan bisa menjadi kokoh nantinya.
Gue enggak bilang ke pembaca gue aja, tapi juga ke diri gue sendiri. Gue lagi berusaha bangun diri gue biar bisa menjadi lebih baik lagi, biar gue bisa, membangun rasa percaya itu sendiri. Bukan cuma gue, tapi buat orang-orang di sekeliling gue, buat elu, dia, mereka, semuanya!
Udah ah, ngomong stupidious ntar gue jadi stupid lagi, berhubung waktu lapi gue udah nunjukin jam 01:29 AM pada tanggal 04/03/2013 dengan berat gue harus mengatakan ini "HAPPY MONDAY AND HAVE A NICE DAY!"
see ya!
PS : thanks udah pada mampir dan baca postingan-postingan aneh gue di blog ini. God bless
Saturday, March 2, 2013
March
Saturday, February 23, 2013
Satnight
Friday, February 22, 2013
Between Logic and Feeling
Wednesday, February 20, 2013
Ed
Gue enggak habis pikir sama Ed yang care-nya bukan main sama gue. Setiap gue mau cerita, gue tinggal sms dia ntar dia pasti nelpon gue dan bakal bilang gini, "mau cerita apa?" trus gue akan komat-kamit. Itu terjadi hampir setiap hari, dimasa-masa gue kelas satu smp dan dia kelas dua smp. Ed itu juga care banget sama gue. Dia bahkan ngejajanin duit makan dia buat bimbel di sore hari, karena udah kelas tiga smp, hanya karena gue kelaperan. Gue enggak ngerti sih kenapa. Bahkan waktu Ed mulai renggang dengan abang gue, Ed tetep perhatian sama gue. Ya, meski orang tua gue ngira gue jalin hubungan spesial alias pacaran sama si Ed. Maklumlah, orang tua gue kenal juga sama orang tuanya Ed karena satu gereja. Bahkan nurut gue, bokap gue cukup akrab dengan Ed.
Tapi semenjak masuk sma, gue ngerasa Ed berubah. Maksud gue, dia jarang ngubungin gue. Ya, gue pikir sih, mungkin karena dia udah punya pacar. Tapi, gue ngerasa kayak ada satu sosok yang hilang dari gue. Gue kehilangan seseorang yang dulu perhatian banget sama gue. Gue kehilangan satu abang-abangan gue.
Tuesday, February 19, 2013
Bad Dreams *Michy*
Tapi aku harap, kami akan tetap baik-baik saja, meski akhir-akhir ini Jiyoung sering menghabiskan waktu di studio kantor YG Entertaiment. Setiap malam aku menunggunya sampai tertidur di ruang tivi. Begitu bangun, aku sudah berada di kamar dan Jiyoung tertidur pulas di sampingku. Aku segera menyiapkan sarapan untuknya. Tapi, setelah itu, aku harus pergi bekerja. Ya, aku hanyalah pegawai biasa di salah satu perusahaan swasta. Ini yang aku sedihkan, aku hanya bisa melihatnya ketika pagi hari aku bangun hingga aku beres-beres dan pergi kerja. Itu pun, dia tertidur dengan pulasnya.
Sudah dua minggu berlalu. Aku menunggu balasan dari Jiyoung. Baru saja aku mengirimkan pesan singkat padanya, "oppa, kau bisa menjemputku? aku masih di depan kantor saat ini". Dua jam berlalu, tidak ada balasan. Aku mulai kesal. "Oppa, kenapa kau tidak membalas smsku?" ucapku pada Jiyoung saat dia mengangkat telponnya. Itu pun entah telponku yang keberapa, setelah sekian kalinya dia mengabaikannya.
"Aduh, maaf kan aku. Aku sedang merancang musik untuk album come back BIGBANG. Ada apa?" tanyanya, meski ya aku akui, aku mendengar dentuman musik dari seberang.
Aku menghela nafas, "Tidak usah, aku tadinya ingin makan malam denganmu dan memintamu menjemputku. Ternyata kau sedang sibuk. Maafkan aku, oppa."
"Ah, tidak, aku yang meminta maaf. Aku janji, lain kali, kita akan makan malam di luar dan aku akan menjemputmu. Bagaimana?"
Aku tersenyum kecil, hatiku terasa ngilu, selalu begitu. "Arasho, oppa..." kemudian aku mengakhiri komunikasi.
Kupandang langit sore. Ada beberapa awan gelap yang nyaris menyerupai warna langit saat itu. "Apa aku ke studio saja, ya? Mungkin itu ide yang bagus!" Aku pun tersenyum, menunggu bis dengan riangnya.
Aku mengambil nafas panjang dari hidung dan menghembuskannya dari mulut. Baiklah, sekotak donat di tangan kiriku dan dua gelas ekspreso hangat di tangan kananku. Sudah lama aku tidak ke kantor YG. Aku tersenyum saat Hyu Jin, salah satu pegawai YG yang bertugas di balik meja information-yang berada tepat setelah kita memasuki pintu masuk YG, tersenyum melihatku. Benar, hanya beberapa orang dalam YG yang tahu kalau aku ini ada hubungan dengan Jiyoung. Entah asisten baru atau menejer baru. Itulah yang mereka kira. Tapi, hanya sedikit dari mereka yang tahu kalau aku ini istri dari Kwon Jiyoung, ketua boyband kenamaan korea bahkan dunia, BIGBANG.
Pintu studio Jiyoung terbuka sedikit. Aneh, malam itu lantai tiga sudah sangat sepi. Tapi, aku bisa mendengar suara tawa Teddy appa yang menggelegar. Mereka sedang berdua saja kah di sana? Aku mempercepat langkahku, dan baru saja aku berada di dekat pintu, aku mendengar pembicaraan mereka.
"Jadi, kenapa kau terus sibuk sendiri di sini? Bagaimana dengan istrimu, Jiyoung-a?" suara Teddy appa, tapi aku bisa merasakan degup jantungku yang semakin cepat.
"Entahlah. Hyung...aku bisa bercerita sesuatu padamu?" suara Jiyoung terdengar serius. Aku menajamkan telingaku.
"Ada apa? Kenapa kau begitu serius menatapku?"
"Aku merasa menyesal telah menikah, hyung..." DEG! Aku membelalakkan mataku, kedua tanganku gemetar tapi tetap menggenggam erat bawaanku, yang tadinya nyaris kujatuhkan.
"Kenapa kau ini? Apa yang terjadi?" Teddy appa terdengar sangat kaget, "Ini seperti bukan Jiyoung yang kukenal!"
"Aku tahu, Michy gadis yang baik, perhatian, sayang dan mencintai diriku. Tapi aku merasa, mungkin aku telah salah ambil jalur dengan menikah. Kurasa diusiaku saat ini, aku butuh waktu untuk menjadi sendiri, hanya aku dan musikku..."
Aku hanya terdiam, terpaku. Jantungku berdebar dengan cepat, rasanya ingin aku menangis hanya saja, aku masih memaksakan diriku untuk tetap mendengar pembicaraan mereka.
"Kau tidak sedang bercanda, kan?" suara Teddy appa terdengar sedikit ragu-ragu.
"Tidak, hyung. Aku, serius. Aku ingin sendiri saat ini..."
DEG! Aku berusaha mengatur nafasku lalu memutar tubuhku dengan sisa kekuatan yang kumiliki dan berjalan menjauhi ruangan Jiyoung. Ucapan Jiyoung terus terngiang di benakku, dia ingin sendiri, dia tidak ingin bersamaku dan dia menyesal telah menikahiku. Aku benar-benar orang yang tidak berguna. Aku...
"YA! MICHY!" Aku tersentak mendengar namaku dipanggil suara yang tidak asing lagi bagiku. Begitu kusadari, aku sudah berada di lantai satu dan nyaris saja meninggalkan gedung YG. Aku berbalik, Seungri yang memanggilku. Dia yang tadinya berada di depan lift, jalan mendekatiku, "Ya! Kau ini kenapa? Aku sudah memanggilmu dari tadi."
Aku mengerjapkan kedua mataku, mengangkat kepalaku dan menatap Seungri sambil tersenyum ceria, "Maafkan aku, aku tadi sedang memikirkan pekerjaanku. He-he-he. Oppa mau ke studio?"
"Kau ini. Ah-iya, ada hal yang ingin kudiskusikan bersama Jiyoung dan Teddy hyung. Kau tahu sendirilah, mereka berdua adalah produser untuk album soloku tahun ini. Kau sendiri?"
"Oh, a-aku, tadi dari atas kok, oppa" aku melihat ke sekitar sebentar, mencari ide untuk sebuah alasan, otakku kacau, "Teddy appa dan Jiyoung oppa keliatannya sedang asik berbicara, jadi, aku tidak ingin menganggu mereka. Oh, ini..." dengan tangan gemetar aku menyerahkan bawaan dikedua tanganku pada Seungri, dia terlihat bingung sebelum aku menjelaskannya, "Tadi aku pulang dari kantor membawakan ini untuk Jiyoung oppa, tapi ya..karna dia sibuk, aku tidak berani mendekatinya. Kuharap...kalian bersama-sama bisa menikmatinya, maaf hanya ada dua gelas ekspreso..."
Seungri tersenyum, "Astaga, kau ini baik sekali. Tidak apa-apa. Terima kasih. Lalu, apa karena ini mulai memasuki musim salju kedua tanganmu menjadi gemetar seperti itu?" aku terbelalak dan memperhatikan kedua tanganku. Sial. Seungri memperhatikannya!
"Pakailah sarung tangan untuk menghangatkannya, oke?" kemudian dia tersenyum ramah, sama seperti biasanya. Polos. Aku jadi geli dan tersenyum dengan tawa kecil, mengangguk kepadanya, "ne~"
Baru saja Seungri akan membalikkan badannya, aku menangkap tangannya, "Oppa, aku boleh minta tolong?"
"Apa itu?"
Aku melepas tanganku pada tangan Seungri, perlahan kemudian tersenyum lebar, "Tolong sampaikan pada Jiyoung oppa, ehmm..." hatiku terasa ngilu, bahkan sebelum kuucap sekali pun, hatiku terasa sangat ngilu. "Katakan padanya, selamat tinggal, Jiyoung oppa."
"Ah, baiklah. Akan kukatakan itu padanya."
Ingin rasanya aku menangis, tapi aku masih cukup kuat untuk menahan air mataku, "Kau...ha-harus, mengatakannya dengan tersenyum. Seperti ini!" ucapku sambil memasang senyum yang kubisa.
"Ara-ara. Aku mengerti Michy, pasti akan kusampaikan begitu. Aku sudah kebelet pipis, maaf Michy, aku pergi dulu ya, bye~" kemudian Seungri masuk ke dalam lift.
Aku tersenyum pahit, "Maksudku...benar-benar selamat tinggal, oppa..."