Wednesday, May 25, 2022

Lie To Me

Belakangan gue terombang ambing dalam ombak pikiran. Padahal tidak ada laut di dalam sana. Hanya saja, sama seperti laut, terkadang bukan hanya ombak yang mengerikan melainkan kedalaman laut itu sendiri.
Gue memilih bertahan di tengah ombak, walau tidak ada nikmatnya sama sekali. Tetapi jauh lebih baik dibandingkan jatuh tenggelam ke dalam pikiran.

Tidak ada yang tahu seberapa gelap pikiran gue. Enggan juga gue kasih tahu orang betapa mengerikannya di dalam sana. Hanya mereka yang pernah gue kabari, tahu akan hal itu. Walau pada akhirnya gue merasa itu keputusan yang salah.

Sendiri itu menjadi hal biasa tetapi kesepian perlahan menjadi sebuah kebiasaan.

Jujur saja, pelan-pelan gue berusaha untuk kembali belajar bagaimana caranya untuk bisa percaya. Lebih ke "gue akan buktikan pikiran gue kalau gue tidak menyesal berbagi ke elu" dibandingkan "jangan sampai lu lukain gue."

Semisalnya suatu saat nanti dia yang gue bagikan sepenggal cerita hidup gue, mengkhianati gue, itu bukan salah gue sudah berbagi melainkan sudah jalan hidup seperti itu. Terkadang kita dibuat tinggal bahkan mengenal racun, menjadi sakit untuk mengerti adanya sehat.

My current partner is my ex from four years ago.

Dia yang dulu pernah gue anggap mengecewakan gue karena adanya miskom diantara kita, but that was another story.

Dari pertama kembali menjalin komunikasi kembali, gue merasakan pertumbuhan dirinya. Dia yang semakin dewasa atau memang gue yang tetap tertahan di tahap kanak-kanak? Entahlah. Walau pun lebih muda dua tahun, tetapi gue sangat menghargai dan menghormati dirinya.

Alasannya?

Karena dia jauh lebih menghargai dan menghormati gue. Seringnya begitu. Kadang gue juga jauh lebih menghormati dia...kayaknya sih begitu.

Paling sering adalah bagaimana dia membiarkan gue memilih sesuatu. Terlebih lagi sesuatu itu untuk gue sendiri, sebut saja makanan dari menu di tempat makan.

Sebagai anak pertama dari tiga bersaudara, another sad truth: gue seringnya menerima tanpa ditanyai pendapat gue. Sering gue iri pada adik-adik gue karena mereka mendapatkan kesempatan untuk memilih dan ditanyai apa mau mereka. Contohnya soal makanan atau minuman.

Makanya ketika pasangan gue bertanya atau membiarkan gue memilih, gue membutuhkan waktu lama atau bahkan sangat sebentar karena asal pilih. Gue masih belajar, belum terlalu biasa. Tetapi dia, sabar menunggu. Tidak pernah mendorong gue kencang untuk mengikuti aliran dirinya.

Kecuali kalau gue memilih menyerah dan memberikan segala keputusan untuk diambil olehnya.

Hal kecil lainnya yang membuat gue merasa dihargai adalah ketika dia meminta ijin melakukan sesuatu, tentunya menyangkut gue juga.

Seperti menggandeng tangan, berpelukan, mengangkat telepon, bahkan ketika dia mau menghisap vape dan gue ada di sebelahnya.

Oh tentang mengangkat telepon. Kalau biasanya kebanyakan orang memberi tanda lalu menjauh, pasangan gue benar-benar meminta ijin pada gue. "Aku angkat telepon sebentar, boleh?"

Setelah gue mengangguk, barulah dia menjauh untuk mengangkat teleponnya. Dia mungkin tidak tahu seberapa manis hal kecil itu. Benar-benar membuat gue merasa, 'ah gue beneran dianggap ada.'

Kita pernah ribut? Tentu.

Terakhir karena masalah komunikasi. Memang komunikasi ini tidak ada habisnya.

Gue tidak pernah mempermasalahkan kesibukan pasangan gue dengan pekerjaannya. Toh kalau kerjaannya lancar, gue juga secara langsung menerima imbasnya. 

Kala itu kita sudah janjian, bukan bukan jalan-jalan ke sana kemari untuk haha-hihi, melainkan berhubungan dengan kerjaan guenya. Dan dia belakangan hilang tanpa kabar. Harusnya gue tinggalkan pesan segala macam saja buat dia bisa jawab ketika ada waktu, tetapi gue tipe yang akan diam juga. Memilih menunggu sampai dia ada waktu untuk memberi kabar.

Dan itu salah satu hal yang gue usahakan untuk pelajari pelan-pelan.

Karena tanpa gue sadari, di sisi lain, dia sendiri menyibukkan dirinya memenuhi hari agar ketika kemudian hari dipakai untuk menemani gue, tidak akan terganggu.

Puncaknya, malam itu, gue telepon dia. Percayalah gue bukan tipikal suara tujuh oktaf kalau marah. Apalagi kalau sangat marah, biasanya semakin rendah dan gue tekankan setiap kata. 

Pernah gue sangat-sangat marah, gue tidak bisa berkata apa-apa, hanya tertawa saja. Tapi yang pernah melihat versi itu bilang, tatapan mata gue mengerikan. Untung gue belum pernah melihat diri gue sendiri itu. 

Gue masih ingat, betapa dia terdengar syok dan terdiam. Iya, akhirnya kita tidak jadi pergi dan gue juga yang merasa bego sendiri.

Tetapi ketika kita membicarakan hal itu, gue ingat kata-kata pasangan gue. Kurang lebih seperti ini, "Engga lagi-lagi deh bikin kamu marah apalagi sampai marah banget."

Padahal dirinya sendiri kalau marah lebih serem dari gue. Belum pernah tapi sudah kebayang gitu sama guenya.

Dia juga tipe pasangan loyal, tidak terlalu perhitungan kecuali memang kita berbagi untuk menghitung sesuatu. Sejauh ini dia belum pernah mengeluarkan kata-kata, "Kan aku sudah kasih (sebut saja pizza) buat kamu, harusnya kamu dengerin aku dong."

Atau kata-kata serupa lainnya seperti itu.

Makanya gue sering bertanya sama dia, "Kamu engga apa-apa kasih aku ini itu?"

Dan dia jawab, "Engga apa-apa. Kenapa memangnya?"

Gue terdiam. Dia tidak tahu saja betapa gue sering dikelilingi orang perhitungan atau yang memberikan sesuatu dengan harapan untuk diperlakukan sesuai mereka inginkan. 

Maka dari itu seringnya ketika ditanya, "Kamu mau apa?" gue sering menjawab, "Engga tahu."

Gue trauma. Gue takut. Bagaimana kalau setelah menerima sesuatu dari orang itu, gue tidak bisa memberikan apa pun yang mereka inginkan. Atau bagaimana jika gue menjadi sosok yang mengecewakan.

Perlahan pasangan gue mematahkan itu. Dia memberi tanpa mengharapkan kembali. Eh, ada ding. "Yang penting kamu senang, kamu bahagia." Itu harapannya.

Terlalu banyak hal yang ingin gue ceritakan dari pasangan gue ini. Gue sendiri belum terlalu bisa membaca aliran dia.

Gue pikir dia tidak romantis. Ketika gue berkata, "Wuah ada toko bunga!"

Dia berkata, "Kamu mau?"

"Ya maulah!"

"Beneran mau?"

"Mau tapi kamu inisiatif dong. Kasih tiba-tiba gitu, jangan diaba-abain. Jangan aku bilang mau terus baru kamu kasih."

"Okeh!" katanya sambil menganggukkan kepala. 

Ternyata romantisnya dia adalah selalu mendengarkan gue bercerita tanpa menyela hingga memastikan gue merasa baik sebelum meninggalkan gue. Meninggalkan gue untuk tidur atau keluar dengan urusannya, misalnya.

Membuat gue sering berpikir, kenapa orang seperti dia mau menjalin hubungan (kembali) dengan gue?

Gue dari awal sudah menyataan keadaan gue secara mental dan fisik tidaklah sama dengan gue empat tahun lalu.

Tetapi dia tidak pernah mempermasalahkan itu semua.

Beberapa kali dia mengatakan seperti ini:

"Aku lihat senyum kamu saja, aku sudah senang banget. Kamu bercanda, kamu tertawa bareng aku, aku sudah senang banget."

Dia yang menunjukkan perjuangan untuk berubah, terlebih soal komunikasi ketika sibuk. Gue sangat menghargai itu.

Pasangan gue tahu seberapa rusak diri gue. Rusak dalam konteks kesehatan loh ya. Tetapi dia memilih tetap ada. Gue mendorong dia untuk menjauh? Beberapa kali gue coba. Bukan mengetes kesetiaannya tetapi memang gue sering merasa gue tidak pantas untuknya.

Dia berhak untuk bahagia dan gue sering merasa kalau kebahagiaan itu akan didapatnya dari orang lain yang bukan gue. Tetapi disaat bersamaan, gue belum siap kalau dia bahagia bersama oranglain dan bukan diri gue. Egois banget gue jadi manusia. Tapi benar begitu adanya.

Gue masih mau membahagiakan dirinya. 

Sama seperti ucapannya, gue juga merasa bahagia banget liat dia bisa tersenyum tertawa karena candaan gue. Bahkan yang garing sekali pun dia akan tersenyum geli turut tertawa. Ah, jadi kangen dengan muka bodohnya itu.

Gue juga ingat ada moment kita sedang serius tetapi tertawa pecah karena sesuatu hal, percaya atau tidak, di sana gue menyadari 'ah gila, gue sayang kebangetan sama ini orang. Bisa kan waktu berhenti sejenak buat gue bisa terus melihat wajah ceria dan tawanya ini.'


Satu hal lagi, pasangan gue tahu betul gue sangat suka menulis. Baginya tulisan gue itu bisa menyentuh, untuknya. Karena itu pendapat dia. Bisa dibilang dia itu penggemar karya tulis gue. Mungkin karena gue pernah tulis tangan beberapa kali surat untuknya. Yang kalau gue tidak salah, meski sudah beberapa tahun berlalu, dia masih menyimpannya. Kalau tidak salah.

Gue tidak mau berharap banyak karena gue takut. Apa pun yang ada di dunia ini, tidak sepenuhnya milik gue. Jadi sampai waktunya nanti, entah kapan, gue mau mencoba untuk belajar kalau tidak apa-apa bersandar padanya.

Dia ada di sini untuk gue. Tidak sekadar kata kosong, tidak pula sebuah janji. Tetapi as simple as, "Aku temani kamu, yah. Boleh, kan?"

As simple as, "Kamu sudah bagaimana perasaannya?"

As simple as, "Kamu mau kita kemana habis ini?"

As simple as, "Kamu engga perlu pikirin aku, yang penting itu kamu." 

Gue tidak tahu dia sadar atau tidak mengatakan kalimat itu, tetapi sendirinya dia memikirkan gue. Ataukah hanya kedok belaka? Astanagah.

Oh, by the way...he's a cancer and I'm gemini.


















No comments:

Post a Comment