Tuesday, June 20, 2023

Envenom

Satu kata yang sangat kuat untuk menggambarkan keadaan pikiran dan perasaan, ini juga berasal dari pengalaman.

Kalau gue ditanya: Emang sayang itu sebenarnya bagaimana?

Jawaban gue untuk saat ini: Entahlah.


Berbicara untuk kata sayang, baik itu dalam konteks keluarga, pasangan, atau berteman, gue tidak tahu pasti kata-kata atau kalimat bagaimana yang pas untuk menggambarkan kata itu. Karena ya, bahasa cinta sayang satu orang itu berbeda-beda.

Tapi seriusan, gue sendiri memiliki pertanyaan, "Apakah memberikan racun merupakan bentuk sayang seseorang kepada orang yang disayanginya?"

*

Gue mendapat kesempatan untuk mengenal seseorang yang mungkin secara linimasa kami sudah pernah bertemu tetapi baru belakang benar-benar berkenalan. Bayangkan saja, lingkar pergaulan kami sekecil itu sejak dulu tetapi baru saling bertatapn menjadi diri sendiri belakangan ini. Tapi itu dia, kita tidak akan pernah tahu garis waktu cerita yang dituliskan seperti apa.

Kita sebut saja dia Yogi. 

Cowok asal Tangerang yang saat ini bekerja di Cikarang itu, gue kenal sangat random. Saking randomnya, gue kebanyakan tertawa. Ya bayangkan saja, sekecil itu ternyata bumi ini, sampai kami baru berkenalan di tahun 2023.

Anyway, back to the story.

Yogi menunjukkan gue buku yang pernah dia tulis untuk mantannya. Jujur, saat membaca itu, gue melakukan dua kesalahan diwaktu yang bersamaan.

Pertama, gue melihat ketulusan hati dan upaya yang dia lakukan dalam membuat buku itu. Dan gue iri akan perasaan dan usaha yang dia curahkan untuk buku itu.

Kedua, gue membandingkan tulisannya dengan tulisan yang mantan gue tuliskan untuk gue. Memang tidak satu buku seperti yang dilakukan Yogi untuk mantannya, mantan pacar gue hanya menuliskan beberapa lembar kertas. Tetapi gue meragukan isi tulisannya yang diarahkan untuk gue itu.


Yogi menuliskan buku berisikan cerita awal mula bertemu dengan mantannya itu. Diselipkan pula beberapa kalimat canda yang manis diikuti beberapa foto. Tidak ada satu pun dia membawa kalimat perbandingan antara mantannya yang kala itu adalah pacarnya, dengan pasangan sebelumnya. Ada juga Yogi menuliskan beberapa harapan untuk hari itu dan kedepannya. Belum lagi dia juga menghubungi dan meminta kata-kata dari beberapa teman-teman mantannya untuk diturut sertakan dalam buku tulisan itu.

Ya, tema buku itu memang ulang tahun.

Berbeda dengan tema karangan bebas yang gue terima dari mantan gue. Pastinya, momen gue terima itu dari mantan gue, saat Desember 2022. Ceritanya bagian dari kejutan natal pertama dan terakhir kami. Tapi, kalau gue di Juni 2023 melihat ke belakang, melihat itu semua sebagai tanda bersalah darinya.

Dia akan menikah bulan ini, gue tidak diundang pastinya. Karena gue kira kami bisa berpisah baik-baik, ternyata di hari esoknya gue mengetahui kebenaran kalau selama ini gue hanya diberikan kepalsuan yang jelas membuat gue bertanya-tanya: "Am I that worthless?"

ITU PEMIKIRAN SALAH KARENA GUE DALAM STATUS BERDUKA, BINGUNG DAN KECEWA.

Belum lagi gue punya luka dan trauma yang mendukung pertanyaan gue tersebut hingga menjadi sebuah pernyataan.

Padahal, gue sudah salah melihat dari titik seperti itu.

Kembali lagi pada waktu saat itu, pada bulan Oktober 2022 mantan gue menyisipkan foto seorang wanita yang dia akui adalah saudara. Semacam sepupu kali ya. Ternyata pada tahun Mei 2023 saat dia memutuskan gue, dia mengakui kalau itu adalah calon istrinya. Itu pun setelah gue paksa jujur.

Gue bodoh karena selama menjalin hubungan dengannya, gue memilih tuli dan tidak mendengarkan hati gue saat ada beberapa kejadian yang membuat gue ragu. Dan kalau gue susun setiap kepingan waktu yang sudah gue lalui bersama dia, gue rasa saat dia memberikan kemanisan demi kemanisan itu adalah kelegaan untuknya.

Ya ibaratnya, dia melakukan kesalahan lalu menebusnya dengan berbuat baik pada gue.

Jujur, gue kira dia benaran sayang pada gue. Tapi mana ada orang yang benar tulus sayang dan cinta sama elu, akan memiliki sejuta alasan untuk tidak menghubungi elu apalagi mengunjungi elu.

Jakarta dan Bogor terasa seperti Amerika dan Korea Selatan. Tidak hanya terbentang jarak tapi juga waktu. Kenyataanya mantan gue itu sering sekali menghilang tanpa kabar dengan alasan sibuk, sakit atau bahkan marah. Berhari-hari tidak membalas teks gue, bahkan enggan untuk mengangkat telepon gue.

Sementara kalau gue bandingkan dengan Yogi. Laki-laki itu berbeda. Gue yakin semua laki-laki normal yang memiliki tulus dan komitmen dalam hubungannya akan melakukan hal serupa dengan Yogi. Dimana Yogi rela mengemudi jauh agar bisa bersama dengan mantannya. Dia akan memberikan waktu agar bisa berkomunikasi dengan mantannya.

Gue sempat menyalahkan diri gue, ketika mantan gue memperlakukan diri gue seperti itu. Padahal itu pemikiran salah.

Salah sekali gue menurunkan standar idaman gue untuk sosok yang memang tidak mampu bersama gue tetapi mengerti titik lemah gue.

Jujur, mantan gue baik, tapi entahlah dia benar tulus baik pada gue atau kebaikannya memang tulus untuk beberapa orang tertentu saja.

Saat bersama mantan gue itu, gue kira gue akhirnya merasakan hubungan berpacaran sehat. Tetapi mana ada pacaran sehat jika satu sisi saja yang tulus dan komit. Beberapa kali pula gue mengoreksi kebiasaannya yang sering jika mengambek atau marah pada gue, dia akan mendiamkan gue berhari-hari.

Untuk kalian yang membaca ini: Jika dia marah dan butuh waktu beberapa jam untuk menenangkan diri itu adalah hal wajar. Tetapi kalau sampai pasangan kalian menunjukkan amarahnya dengan diam dan tidak komunikasi selama berhari-hari, hal itu merupakan racun. Tidak baik. Malah jahat.

Pernah gue ketahui dia sedang sakit. Dia memang mengaku sakit pada gue, walau tidak begitu paham dengan sakit dia yang sebenarnya kecuali migrain berat, tetapi gue pernah curiga hanya saja gue tepis. Bagaimana mungkin orang migrain berat masih bisa beraktivitas kerja dan ke sana kemari tetapi tidak dengan membalas pesan atau sekedar mengangkat telepon.

Bahkan pernah dia mengaku sakit tapi gue yang khawatir, mendapati kabar kalau dia ternyata sedang tampil dengan bandnya. Gue frontal ke dia dan jelas dia membalikkan semuanya ke gue, bilang kalau dia tidak bohong atas penyakitnya.

Ya, kalau dulu, gue merasa bersalah karena menyudutkan dia dengan kebenaran dan bukti yang gue punya. Tapi gue yang menulis ini sekarang berpikir kalau gue sudah hebat bisa mencari tahu kebenaran dan juga bodoh karena terus memberikan mantan gue kesempatan.


Gue tidak menyesal pernah memberikan perasaan, pikiran, waktu dan hal-hal yang gue sudah lakukan karena kala itu gue pikir kalau gue tidak sendirian dalam berkomitmen.

Tapi gue yang saat ini mempertanyakan: Seperti apa sebenarnya komitmen itu?


Menurut gue, kesalahan gue selama menjalin hubungan dengan mantan gue adalah:

1. Gue menurunkan standar yang gue miliki hanya untuk bersama orang yang tidak memiliki nilai serupa dengan gue.

2. Percaya ketulusan seseorang bisa muncul dengan memberikan berkali-kali kesempatan pada orang itu tanpa mendengarkan kata hati sendiri.

3. Menganggap dia rumah, hanya karena dia memberikan ilusi keberadaannya yang ada.

*


Kalau ditanya saat ini, "Apakah gue membenci mantan gue itu?"

Jawaban gue saat ini adalah, "Gue tidak punya waktu dan tenaga buat punya benci, apalagi buat orang yang tidak pernah benar-benar tulus hadir dalam hidup gue. Buat apa."


Kecewa ya, pasti. Gue kecewa tidak pada keadaan atau dirinya yang bisa-bisanya acting turut menangis dengan gue juga. Mungkin alasan tangisannya kala itu berbeda dengan gue. Kecewa yang gue rasakan adalah: kebodohan gue.

Tapi satu sisi gue bersyukur sama Yang Maha Kuasa. Gue tidak harus terus lama bersama orang seperti mantan gue itu. Bahkan kalau gue harus cerita hal baik yang dia lakukan buat gue, malah jatuhnya seperti hanya fantasi saja.

Karena ya itu tadi, setiap kali dia baik pada gue, ingatan gue kembali pada beberapa hal.

Dia mengaku beli nomor baru untuk mempermudah urusan kerjaan. Dimana dia lebih sering memberi kabar gue menggunakan nomor barunya, mungkin takut ketahuan calon istrinya kala itu. 

Gue sendiri bingung membuat garis waktu mantan gue itu. Apakah dia sama gue duluan baru selingkuh dengan cewek yang akan dia nikahi nanti. Yang diakuinya dijodohkan padahal, yah sori banget nih, sangat gue ragukan kalau dijodohkan, mengingat semua ucapannya banyakan bohongnya.

Atau dia sudah sama cewe itu duluan baru selingkuh dengan gue.

Entahlah. Tapi entah siapa pun yang lebih duluan, dipikiran gue: lingkungannya serupa dengan dia.

Gue ada ketemu sepupunya dan pernah ngobrol via telepon dan video call beberapa kali. Bertemu dengan salah seorang teman satu bandnya, pernah obrolan super singkat dengan adiknya dan teks nyokapnya walau ditanggapinnya ya dingin banget.

Berarti mereka semua tahu.

Dan mereka biarkan itu semua terjadi.

Lalu belakangan dia ngaku beli handphone baru, padahal saat bertemu terakhir, dia tidak pakai handphone baru. Malah bisa bilang dengan santainya, dia jual kembali itu handphone, padahal sebelum bertemu bilangnya hape lama yang dijual.

Asli, gue tidak bisa tuliskan berapa banyak kebohongan dia yang sudah gue percaya selama ini. Dan dengan model lingkungan yang mendukung omongannya, gue yakin mereka semua sama saja.

Jahat, ya, omongan gue? (Mana tahu dia baca) Ya, baguslah. Biar lu sadar, kalau yang gue tuliskan ini nyata dan benar-benar adanya. Belum ada karangan belaka.


Ada yang pernah bertanya: "Kalau mantan lu datang minta maaf dan mau balikan sama lu, apakah lu terima?"

Jawabannya: No.


Gue pernah memaafkan dia, berkali-kali. Tapi setelah semua terbuka, gue memilih menerima kesalahan gue sendiri dan memaafkan diri gue sendiri tetapi tidak dengan dirinya mau pun lingkungannya.

Balikan? Not in million years

Satu sisi gue ingin amnesia tentang mantan gue itu. Tapi di sisi lain, gue buat setahun lebih ke belakang merupakan pelajaran keras buat gue.

Apakah gue senang saat ini? Sangat.

Karena saat ini gue merasa, gue naik kelas. 

Gue yang kembali mengendalikan diri gue sendiri; bebas menentukan apa yang boleh masuk dalam pikiran gue dan perasaan gue. 

Urusan karma, ya gue percaya dengan [ Apa yang kamu tabur, itulah yang akan kamu tuai]

Gue tidak dendam, tidak juga akan merasa senang jika apa pun itu nanti terjadi pada dirinya atau lingkungannya, karena gue bukanlah siapa-siapa.


Untuk sekarang, gue memilih menerima dan legowo. Apa pun yang telah terjadi dari diri gue untuk dia yang gue berikan, gue ikhlas. Apa pun yang dia berikan entah itu hanya bersifat ilusi, kebohongan dan tidak tulus sekali pun, gue anggap sebagai berkat untuk pelajaran hidup gue. 

Percayalah, gue kemarin menangisi dia dan merasa hancur lebur, saat ini gue merasa bersyukur. Sangat bersyukur telah dijauhkan dari orang seperti mantan gue dan lingkungannya yang tidak pernah diberikan kesempatan untuk mengenal guenya. 


Terima kasih buat elu yang sudah baca sampai di baris ini.

Jangan pernah mempertanyakan nilai diri lu dan melemparkannya pada orang lain untuk menilai. Elu harus menguasai diri lu sendiri dan tetap pegang kendali atas diri elu, jangan sampai stirnya dikasih ke orang-orang tidak bertanggung jawab.

*

Dan untuk kamu yang menginspirasi, yang membuat aku berpikir [oh, masih ada yah, laki-laki seperti ini] walau bukan ke aku tapi setiap perasaanmu tersampaikan. Aku yakin, kamu memiliki panggilan dalam hidupmu. Terima kasih sudah memperlihatkan padaku, kalau ketulusan itu tidak ada batasnya dan tidak ada harganya.

Kamu hebat, terlepas dari segala luka yang kamu miliki saat ini. 

Kamu kuat, terlebih dengan apa pun yang sedang kamu hadapi dalam hidup ini.

Ayo, bercerita dan becanda bersama lagi dan selalu.

Sekalian, berdoa bareng lagi kita.

No comments:

Post a Comment